Rabu, 23 Desember 2009

DIABETES MELITUS

DIABETES MELITUS

1. Diabetes Melitus
Peneliti menyatakan bahwa “Diabetes melitus adalah merupakan sekelompok kelainan heterogen yang ditandai oleh kenaikan kadar glukosa dalam darah atau hiperglikemia” ( Smeltzer, 2001, p.1224).
Peneliti menyatakan bahwa “Diabetes melitus adalah gangguan metabolisme yang secara genetik dan klinik termasuk heterogen dengan manifestasi berupa hilangnya toleransi karbohidrat” (Price, 2005, p.449).
Peneliti menyatakan bahwa “Ulkus adalah destruksi membran mukosa atau kulit dengan etiologi apapun sehingga terbentuk lubang, kawah atau lekukan” ( Hincliff, 1999, p.449).
2. Hipertensi
Peneliti menyatakan bahwa “Hipertensi adalah tekanan darah persisten dimana tekanan sistoliknya diatas 145 mmHg dan tekanan diastoliknya diatas 90 mmHg” (Smeltzer, 2000, p.896).
Peneliti menyatakan bahwa “Klasifikasi Diabetes Melitus
a. Tipe I : Diabetes melitus tergantung insulin (Insulin Dipendent Diabetes melitus / IDDM)

b. Tipe II :Diabetes melitus tidak terkandng insulin (Non Insulin Dipendent Diabetes Melitus / NIDDM)
c. Diabetes melitus yang berhubungan dengan kelainan lainnya
d. Diabetes melitus Gestasional” ( Smeltzer, 2001, p.1224 ).
B. Etiologi / Penyebab
Menurut Smeltzer (2001, p.1224 ) :
1. Diabetes Melitus
a. Tipe I Insulin Dipendent Diabetes Melitus / IDDM
Terjadi destruksi sel beta yang disebabkan oleh :.
1) Faktor genetik
Penderita DM tidak mewarisi diabetes tipe I, tetapi mewarisi suatu kecenderungan kearah terjadinya diabetes tipe I. Kecenderungan dilakukan pada individu dengan antigen HLA (Human Leucosite Antigen yang spesifik).
2) Faktor imunologi
Pada diabetes tipe I terdapat bukti adanya suatu respon autoimun, ini merupakan respon abnormal dimana antibodi terarah pada jaringan tersebut yang dianggapnya seolah-olah sebagai benda asing.
3) Faktor lingkungan
Hasil penyelidikan menyebutkan bahwa virus atau toksin tertentu dapat memicu destruktif sel beta.

b. Tipe II Non Insulin Dipendent Diabetes Melitus / NIDDM
Disebabkan oleh mekanisme yang tepat yang menyebabkan destruktif insulin dari gangguan sekresi insulin pada diabetes tipe II belum diketahui faktor genetik diperkirakan memegang peranan dalam terjadinya resistensi insulin. Selain itu terdapat pula faktor-faktor resiko tertentu yang berhubungan dengan proses terjadinya diabetes melitus tipe II yaitu :.
1) Usia (resistensi insulin cenderung meningkat pada usia di atas 65 tahun)
2) Obesitas
3) Riwayat keluarga
4) Kelompok etnik.
c. Diabetes melitus yang berhubungan dengan keadaan atau sindrom lainnya bisa disebabkan karena :
1) Penyakit Pankreas
2) Sindrom Chusing
3) Akromegali .
d. Diabetes melitus gestasional (Gestasional Diabetes Melitus)
Gastasional diabetes melitus yang timbul selama kehamilan disebabkan karena.
1) Obesitas
2) Usia diatas 30 tahun
3) Riwayat diabetes melitus dalam keluarga
4) Pernah melahirkan bayi besar (lebih dari 4,5 kg)

2. Hipertensi
Berdasarkan ada atau tidaknya penyebab hipertensi terbagi menjadi 2 golongan :.
a. Hipertensi primer
1) Genetik.
Peneliti menyatakan bahwa “Adanya bukti kejadian hipertensi lebih banyak dijumpai pada pasien kembar monozigot daripada heterozigot, jika salah satu diantaranya menderita hipertensi, maka faktor genetik mempunyai pengaruh terhadap timbulnya hipertensi” (Waspadji, 2001, p.456).
2) Obesitas
Peneliti menyatakan bahwa “Obesitas akan meningkatkan metabolisme tubuh sehingga akan menambah beban ke jantung dan kebutuhan O2 sehingga dapat terjadi hipertensi” (Waspadji, 2001, p.458).
b. Hipertensi sekunder
Yaitu hipertensi yang dapat diketahui penyebabnya, 5% diketahui dari : .
1) Penyakit ginjal
Peneliti menyatakan bahwa “Disebabkan oleh stenosis arteri ginjal yang merupakan penyebab utama hipertensi sekunder, selain itu pada ginjal dipengaruhi oleh pengeluaran sodium dan mekanisme angiotensin dapat meningkatkan tekanan darah” (Waspadji, 2001, p.474).
2) Sindrom Cushing
Peneliti menyatakan bahwa “Dimana terjadi peningkatan sekresi angiotensin yang akan mengakibatkan vasokontriksi” (Waspadji, 2001, p.480).
3) Peneliti menyatakan bahwa “Menggunakan pil KB yang berhubungan dengan kehamilan karena esterogen dapat merangsang pembentukan angiostensin di hati. Kehamilan terkait dekat pre eklamsi orang hamil biasnya tekanan darahnya labil sehingga pembuluh darah mengalami hipersensivitas akibat penurunan curah jantung yang berakibat pada penurunan filerasi jantung” (Waspadji, 2001, p.407)
Penyebab hipertensi Menurut Price (2006) :
Merokok (nikotin yang dihasilkan merangsang sistem saraf otonom untuk mengeluarkan kolekolamin sehingga meningkatkan vasokontriksi pembuluh darah)
Obesitas (obesitas meningkatkan kerja jantung dan kebutuhan O2 lemak tubuh yang berlebihan dapat meningkatkan terbentuknya kolesterol dalam pembuluh darah sehingga hal ini dapat memicu terbentuknya arteroklerosis)
Lingkungan (lingkungan dapat menimbulkan stress psikososial, sudah diketahui bahwa stress menyebabkan pelepasan katekolamin).

C. Patofisiologi
Pada diabetes tipe I terdapat ketidakmampuan untuk menghasilkan insulin karena sel-sel beta telah dihancurkan oleh proses autoimun dan pada diabetes tipe II terdapat dua masalah utama yang berhubungan dengan insulin yaitu resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin, secara umum pada kedua tipe diatas ini akan meningkatkan konsentrasi glukosa darah sehingga ginjal tidak dapat menyerap kembali semua glukosa yang tersaring keluar, akibatnya glukosa tersebut muncul dalam urine (glukosuria). Ketika glukosa berlebihan diekskresikan kedalam urine ini, akan disertai pengeluaran dan elektrolit yang berlebihan. Keadaan ini dinamakan diuresis sebagai akibat kehilangan cairan yang berlebihan, sehingga terjadi peningkatan dalam berkemih (poliuria) dan rasa haus (polidipsi), sedangkan polifagia terjadi karena glukosa tidak mampu diserap oleh pankreas, sedangkan polifaagia terjadi karena glukosa tidak mampu diserap oleh pankreas, akibatnya sel tubuh mengalami penurunan asupan nutrisi sehingga tubuh merespon dengan mengkonsumsi banyak makan, tetapi makanan ini tidak dapat mengalami metabolisme sehingga sel tubuh akan mengalami rasa lapar dan ingin makan secara terus menerus (polifagia) sampai keadaan pankreas dapat kembali berfungsi secara normal.
Defisiensi insulin mengganggu metabolisme protein dan lemak sehingga timbul gejala kelelahan atau kelemahan. Defisiensi insulin menyebabkan tidak terkendalinya glukoneogenesis dan glikogenesis, disamping itu akan terjadi pemecahan lemak yang menyebabkan peningkatan produksi lemak dan badan keton yang mengakibatkan ketoasidosis yang dapat menyebabkan tanda-tanda dan gejala seperti nyeri abdomen, mual, muntah, hiperventilasi, nafas berbau aseton. Bila tidak ditangani akan menimbulkan perubahan kesadaran (koma) bahkan kematian. Komplikasi jangka panjang dapat menyerang semua sistem tubuh. Kategori komplikasi kronis diabetes yang lazim digunakan adalah penyakit kardiovaskuler, mikrovaskuler, neuropati, berbagai penyakit makrovaskuler dapat terjadi tergantung pada lokasi aterosklerosis seperti penyakit arterikoroner, penyakit cerebravaskuler, penyakit vaskuler perifer. Komplikasi mikrovaskuler meliputi pada retinopati dan nefropati, kelainan patologis mata yang disebut retinopati diabetik disebabkan oleh perubahan dalam pembuluh darah kecil pada retina mata.
Perubahan aterosklerosis dalam pembuluh darah cerebral dapat menimbulkan serangan iskemik yang terjadi akibat obstruksi. Obstruksi dapat disebabkan oleh bekuan (trombus) yang terbentuk didalam satu pembuluh otak atau organ distal. Pada trombus vaskuler distal, bekuan dapat terlepas, atau mungkin terbentuk didalam suatu organ seperti jantung, dan kemudian dibawa melalui sistem arteri ke otak sebagai suatu embolus.
Embolus-embolus ini menempel pada dinding pembuluh darah sehingga pembuluh darah menjadi kaku atau tidak elastis. Hal ini sering disebut arteriosklerosis. Kondisi ini menyebabkan penyempitan pembuluh darah yang berdampak pada terjadinya peningkatan tekanan vaskuler serebral. Gejala-gejala yang muncul akibat proses ini adalah nyeri kepala, kaku di tengkuk.

D. Pathway

E. Manifestasi Klinis
Menurut Sylvia (2005, p.1263) :
1. Diabetes Melitus
a. Polifagia
Yaitu keinginan untuk makan meningkat atau rasa lapar karena energi yang dihasilkan sedikit, fungsi sel-sel menurun dan menjadi lemah, kurang tenaga, lesu, sehingga merangsang syaraf vagus meningkat produksi growht harmone dengan aday peningkatan growht hormone maka rasa lapar akan terstimulasi sehingga pasien akan makan dalam jumlah banyak tetapi BB menurun.
b. Polidipsia
Yaitu keinginan untuk minum banyak atau rasa haus karena terjadi pengeluaran urine yang berlebihan mengakibatkan kekurangan cairan / dehidrasi sehingga rasa haus akan terstimulasi dan pasien minum dalam jumlah banyak.
c. Poliuria
Peningkatan pengeluaran kemih dan urine karena diuretik osmotik yang mengakibatkan perpindahan cairan dari intraseluler ke ekstravaskuler (interstitial dan intra vaskuler) sehingga terjadi peningkatan volume ekstrase yang akibatnya dikeluarkan oleh ginjal lebih dari 1500 ml/hari.

d. Kelainan kulit
Hal ini terjadi karena akumulasi kristal uremik atau karena jamur.
e. Kelainan ginekologis
Misalnya : keputihan disebabkan karena kendala / jamur
f. Kesemutan rasa baal akibat sudah terjadinya neuropati sehingga terjadi perubahan sensorik pada ekstremitas
g. Kelemahan tubuh akibat ketidakmampuan mengubah glukosa menjadi glikogen sehingga energi yang dihasilkan sedikit dan juga akibat oleh adanya anemi sehingga fungsi kemampuan darah membawa oksigen ke sel-sel tubuh menurun.
h. Infeksi saluran kemih karena nevogenik bladder akibat neuropati autonom yang menyebabkan timbulnya sisa urine dalam kandung kemih yang merupakan resevoir infeksi.
i. Kadar gula darah sewaktu dan puasa dengan metode enzimetik sebagai patokan penyaring dan diagnosa DM (mg/dl)
j. Gejala awal dari penderita DM adalah :
1) Poliuri
2) Polidipsi
3) Polifagia
4) Lemah
5) Turunnya BB
6) Mengantuk

2. Hipertensi
Peneliti menyatakan bahwa
a. Sakit kepala
b. Epistaksis
c. Telinga berdengung
d. Rasa tengkuk berat
e. Mata berkuang-kunang Klasifikasi (Mansjoer 1999, p.518).
Komplikasi :
Peneliti menyatakan bahwa “Komplikasi yang terjadi pada penyakit hipertensi :
a. Gangguan penglihatan
b. Stroke
c. Penyakit jantung” (Mansjoer, 1999, p.518).
F. Pemeriksaan Penunjang
Menurut Doenges (2000, p.728) :
1. Diabetes Melitus
a. Glukosa darah : meningkat 100-200 mg/dl atau lebih
b. Aseton plasma (keton) : positif secara mencolok.
c. Asam lemak bebas : kadar lipid dan kolesterol meningkat
d. Osmolatitias serum : meningkat tetapi biasanya kurang dari 330 MOsm/p
e. Elektrolit
Natrium : mungkin normal, meningkat, menurun
Kalium : normal / peningkatan semu (perpindahan seluler) selanjutnya akan menurun
Fosfor : lebih sering menurun
f. Ureum / kreatinin : mungkin meningkat / normal (dehidrasi) penurunan fungsi ginjal
g. Insulin darah : mungkin menurun / bahkan sampai tidak ada (pada tipe I) atau normal sampai tinggi (tipe II) yang mengidentifikasi insufisiensi insulin/ gangguan dalam penggunaan (endogen / eksogen) resistensi insulin dapat berkembang sekunder bertahap pembentukan antibodi (autoantibodi)
h. Pemeriksaan fungsi tiroid : peningkatan aktivitas hormon tiroid dapat meningkatkan glukosa darah dan kebutuhan akan insulin.
i. Urine, gula dan aseton (+), berat jenis dan asmolaritas mungkin meningkat.
j. Kultur dan sensitivitas kemungkinan adanya infeksi pada saluran kemih, infeksi pernafasan dan infeksi pada luka.
2. Hipertensi
Peneliti menyatakan bahwa
a. Urinalisa
b. Kimia darah ( kalium, natrium, kreatinin, gula darah, puasa, kolesterol total, kobitral HDL dan EKG )
c. Pemeriksaan tambahan seperti protein 24 jam, asam urat, kolesterol LDL, TSH, dan ekookardiograf” Mansjoer (1998, p.518).
G. Fokus Pengkajian
Menurut Doenges (2000, p. 39-41) :
1. Diabetes melitus
a. Aktivitas / istirahat :
Gejala : Lemah, letih, sulit bergerak/berjalan, kram otot, tonus otot menurun, gangguan tidur atau istirahat
Tanda : Takikardia dan takipnea pada keadaan istirahat atau dengan aktivitas.
b. Sirkulasi
Gejala : Adanya riwayat hipertensi, infark miokart akut kaludikasi, kebas dan kesemutan pada ekstremitas, ulkus pada kaki, penyembuhan yang lama
Tanda : Takikardia
Perubahan tekanan darah postural, hipertensi
Nadi yang menurun atau tidak ada
Distritmia
Kulit panas, kering, dan kemerahan, bola mata cekung

c. Integritas ego
Gejala : Stress, tergantung pada orang lain
Masalah finansial yang berhubungan dengan kondisi
Tanda : Ansietas, peka rangsang.
d. Eliminasi
Gejala : Perubahan pola berkemih (poliuria), nokturia
Rasa nyeri / terbakar, kesulitan berkemih, ISK baru atau berulang
Nyeri tekan abdomen
Diare
Tanda : Urine encer, pucat, kuning, poliuria (dapat berkembang menjadi oliguria/anuria jika terjadi hipovolemia berat)
Urine berkabut, bau busuk (infeksi)
Abdomen keras,adanya asites.
Bising usus lemah dan menurun, hiperaktif (diare).
e. Makanan / cairan
Gejala : Hilang nafsu makan
Mual / muntah
Tidak mengikuti diet, peningkatan masukan glukosa / karbohidrat
Penurunan berat badan lebih dari periode beberapa hari atau minggu
Penggunaan diuretik (tiazid)
Tanda : Kulit kering/bersisik, turgor jelek
Kekakuan / distensi abdomen, muntah
Pembesaran tiroid (peningkatakan kebutuhan metabolik dengan peningkatan gula darah)
Bau halitosis / manis, bau buah (nafas aseton).
f. Neurosensori
Gejala : Pusing / pening
Sakit kepala
Kesemutan, kelemahan pada otot, parestesia
Gangguan penglihatan
Tanda : Disorientasi, mengantuk, letargi, stupor/koma (tahap lanjut), gangguan memori (baru, masa lalu) kacau mental
Refleks tendon dalam (RTD) menurun (koma)
Aktivitas kejang (tahap lanjut dari DKA).
g. Nyeri / kenyamanan
Gejala : Abdomen yang tegang / nyeri (sedang/berat)
Tanda : Wajah meringis dengan palpasi tampak sangat berhati-hati
h. Pernafasan
Gejala : Merasa kekurangan oksigen, batuk dengan / tanpa sputum purulem (tergantung adanya infeksi /tidak)
Tanda : Lapar udara
Batuk, dengan / tampa sputum purulen (Infeksi)
Frekuensi pernafasan.

i. Keamanan
Gejala : Kulit kering, gagal, ulkus kulit
Tanda : Demam, diaferesis
Kulit rusak, lesi / ulserasi
Menurunnya kekuatan umum / rentang gerak
Parestesia/paralisis otot termasuk otot-otot pernafasan (jika kadar kalium menurun dengan cukup tajam).
j. Seksualitas
Gejala : Rabas vagina (cenderung infeksi)
Masalah impotensi pada pria, kesulitan orgasme pada wanita .
k. Penyuluhan / Pembelajaran
Gejala : Faktor risiko keluarga : DM, pnyakit jantung, stroke hipertensi, penyembuhan yang lambat.
Penggunaan obat seperti steroid, diuretik (tiazid)
Dilantin dan terobarbital (dapat meningkatkan kadar gula darah)
Mungkin atau tidak memerlukan obat diuretik sesuai pesanan.

2. Hipertensi
a. Aktivitas Istirahat
Gejala : Kelelahan, nafas pendek, gaya hidup monoton
Tanda : Frekuensi jantung meningkat, perubahan irama jantung, Takipnea
b. Sirkulasi
Gejala : Riwayat hipertensi, arteri sklerosis, penyakit jantung koroner / katup dan penyakit cerebrovaskuler.
Tanda : Kenaikan tekanan darah (pengukuran serial dari kenaikan tekanan darah diperlukan untuk menegakkan diagnosis)
Hipotensi postural (mungkin berhubungan dengan regimen obat)
Nadi : Denyutan jelas dari karotis, jugularis, radialis, perbedaan denyut seperti : Denyut femoral melambat sebagai kompensasi denyutan radialis atau brakhialis, denyut popliteal, jibrialis posterior, pedialis tidak teraba / lemah.
Frekuensi / irama : takikardia, berbagai disritmia.
Bunyi jantung : perubahan wana kulit, suhu dingin (vasokontriksi) kulit pucat, sianosis dan diaforesis (kongesti hipoksia).

c. Integritas Ego
Gejala : Riwayat perubahan kepribadian, ansietas, depresi, euforia atau marah kronik (dapat mengidentifikasi kerusakan serebral) faktor-faktor stres mutibel (keuangan yang berkaitan dengan pekerjaan)
Tanda : Letupan Suasana hati, gelisah, penyempitan kontinue perhatian, tangisan meledak.
d. Eliminasi
Gejala : Gangguan ginjal saat ini atau yang lalu (seperti infeksi / obstruksi atau riwayat penyakit ginjal masa lalu)
e. Makanan / Cairan
Gejala : Makanan yang disukai, yang dapat mencakup makanan tinggi garam, tinggi lemak, tinggi kolesterol (seperti makanan yang digoreng, keju, telur) gula- gula yang berwarna hitam, kandungan tinggi kalori.
Mual muntah
Perubahan BB akhir – akhir ini ( meningkat / turun )
Riwayat penggunaan diuretik
Tanda : BB normal / obesitas.
Adanya oedema (mungkin umur/tertentu), glikosuria (hampir 10% pasien hipertensi adalah diabetik)

f. Neuro sensori
Gejala : Keluhan pusing / pening.
Berdenyut, sakit kepala suboksipital (terjadi bangun dan menghilang secara spontan setelah beberapa jam)
Episode kebas / kelemahan pada satu sisi tubuh gangguan penglihatan (diplopia : penglihatan kabur)
Episode epistaksis.
Tanda : Status mental, perubahan keterjagaan, orientasi, pola isi bicara, afek, proses fikir, memori ( ingatan)
Respon motorik, penurunan kekuatan gangguan tangan dan / reflek tendon dalam
Perubahan – perubahan retina optik, dari sklerosis / penyimpitan arteri ringan sampai berat dan perubahan sklerotik dengan edema atau popiledema, eksudat, haemoragie, tergantung pada berat / lamanya hipertensi.
g. Nyeri / ketidaknyamanan
Gejala : Angina (penyakit arteri koroner / keterlibatan jantung)
Nyeri hilang timbul pada tungkai/ klaudikasi (indikasi arteriosklerosis pada arteri ekstermitas bawah)

Sakit kepala oksipital berat seperti yang pernah terjadi sebelumnya.
Nyeri abdomen / massa ( feokromositoma)
h. Pernafasan
(Secara umum berhubungan dengan efek kardio pulmunal tahap lanjut dan hipertensi menetap / berat).
Gejala : Dispnea yang berkaitan dengan aktivitas / kerja takipnea, ortopnea, dispnea, noktural proksimal batuk / tanpa pembentukan sputum
Riwayat merokok.
Tanda : Distress respirasi / penggunaan obat aksesori pernafasaan.
Bunyi nafas tambahan (krakles / mengi), Sianosis
i. Keamanan :
Keluhan gejala / : Gangguan koordinasi / cara berjalan
Epidose parestesi unilateral transien
Hipotensi postural.
j. Pembelajaran / penyuluhan :
Gejala : Faktor–faktor resiko keluarga : Hipertensi, artisklerosis, penyakit jantung, DM, penyakit cerebro vaskuler / ginjal.

H. Diagnosa Keperawatan
1. Diabetes Melitus
a. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan diuresis osmotik (dari hiperglikemia)
b. Nyeri berhubungan dengan diskontinuitas jaringan
c. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan anoreksia
d. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan diskontinuitas jaringan
e. Kelelahan berhubungan dengan penurunan produksi energi metabolik
f. Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan kadar glukosa tinggi, penurunan fungsi leukosit, perubahan pada sirkulasi
g. Ansietas berhubungan dengan perubahan status kelelahan
2. Hipertensi
a. Penurunan curah jantung berhubungan dengan tekanan perifer meningkat.
b. Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan peningkatan tekanan pemuluh darah.
c. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan diplopia
d. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan otot
e. Gangguan pemenuhan nutrisi berhubungan dengan anoreksia.

I. Fokus Intervensi
1. Diabetes Melitus
a. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan diuretis asmotik (dari hiperglikemia)
Tujuan : Kebutuhan ciran terpenuhi
Kriteria hasil : Tanda vital stabil, turgor kulit dan pengisian kapiler baik, pengeluaran urine dalam batas normal
Intervensi :
1) Pantau tanda-tanda vital, catat adanya perubahan tekanan darah abstatik
2) Kaji nadi perifer, pengisian kapiler, turgor kulit dan membran mukosa
3) Pantau masukan dan pengeluaran cairan
4) Ukur berat badan tiap hari
5) Pertahankan untuk memberikan cairan paling sedikit 250 ml tiap hari
6) Berikan lingkungan yang nyaman (Doenges, 1999, p. 732)
b. Nyeri berhubungan dengan dikonsinuitas jaringan
Tujuan : Nyeri berkurang / hilang
Kriteria hasil : Pasien melaporkan nyeri berkurang, ekspresi wajah rileks

Pasien dapat melakukan tehnik manajeman nyeri
Intervensi :
1) Tanyakan intensitas nyeri
2) Jelaskan sebab-sebab nyeri
3) Anjurkan untuk istirahat
4) Ajarkan tehnik menajeman nyeri
5) Kolaborasi pemberian analgetik (Carpenito, 2000 p. 782)
c. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan diskontinuitas jaringan
Tujuan : Kebutuhan nutrisi terpenuhi
Kriteria hasil : Mencerna jumlah kalori / nutrisi yang tepat, menunjukkan tingkat energi biasanya, 88 stabil
Intervensi :
1) Timbang berat badan tiap hari
2) Tentukan diet dan pola makan pasien
3) Auskultasi bising usus, catat nyeri abdomen, mual dan muntah
4) Observasi tanda-tanda hiperglikemia (perubahan kesadaran, kulit lembab atau dingin, denyut nadi cepat, lapar, pusing)

5) Observasi tanda-tanda hiperglikemia (perubahan kesadaran, kulit lembab atau dingin, denyut nadi cepat, lapar, pusing)
6) Libatkan keluarga pasien dalam perencanaan makanan sesuai dengan indikasi (Doenges 1989, p. 732)
d. Kelelahan berhubungan dengan penurunan produksi energi metabolik
Tujuan : Kelelahan berkurang / hilang
Kriteria hasil : Menunjukkan kemampuan untuk berpartisipasi dalam aktivitas yang diinginkan, mengung-kapkan peningkatan energi
Intervensi :
1) Diskusikan dengan pasien kebutuhan untuk aktivitas
2) Berikan aktivitas alternatif dengan periode istirahat yang cukup
3) Pantau tanda-tanda vital sebelum dan sesudah melakukan aktivitas
4) Ajarkan pasien melakukan aktivitas sehari-sehari sesuai tingkat toleransi
e. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan dikontiunitas jaringan
Tujuan : Mencegah penyembuhan luka

Kriteria hasil : Tidak terjadi gangguan integritas kulit
Intervensi :
1) Identifikasi perkembangan ulkus
2) Bersihkan jaringan nekrotik
3) Bilas ulkus dengan cairan steril
4) Lakukan debridement sesuai dengan kebutuhan
5) Bersihkan permukaan kulit daerah sekitar luka (Doenges, 1999, p. 918)
f. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan kadar glukosa tinggi, penurunan fungsi leukosit, perubahan pada sirkulasi
Tujuan : Infeksi tidak terjadi
Kriteria hasil : TTV dalam batas normal, tidak ada tanda-tanda radang pda sistem tubuh
Intervensi :
1) Observasi tanda-tanda infeksi dan peradangan
2) Pertahankan tehnik septik dan asepetik pada prosedur invasis
3) Anjurkan untuk minum dan makan adekuat
4) Berikan perawatan luka secara teratur
5) Berikan antibiotik yang sesuai (Doenges, 1999, p. 734)


g. Ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan
Tujuan : Ansietas berkurang
Kriteria hasil : Melaporkan ansietas berkurang, tampak rileks
Intervensi :
1). Kaji tingkat rasa takut klien dan orang terdekat
2). Jelaskan prosedur / asuhan yang diberikan
3). Dorong pasien menyatakan masalah
4). Akut kenormalan perasaan pada situasi ini
5). Dorong orang terdekat berpartisipasi dalam asuhan. (Doenges, 1999, p. 644)
2. Hipertensi
a. Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan peningkatan tekanan vaskuler serebral.
Tujuan : Melaporkan nyeri / ketidaknyamanan terkontrol / hilang.
Kriteria hasil : Mempertahankan tekanan darah dalam rentang individu yang dapat diterima
Memperlihatkan irama dan frekuensi jantung stabil dalam rentang waktu normal
Intervensi :
1) Mempertahankan tirah baring selama fase akut.
Rasional : Meminimalkan stimulasi atau meningkatkan relaksasi.

2) Ajarkan teknik destraksi dan relaksasi.
Rasional : Mengontrol rasa nyeri.
3) Hilangkan atau minimalkan aktivitas vasokontriksi yang dapat meningkatkatkan tekanan pada kepala.
Rasional : Aktivitas vasokontriksi menyebabkan sakit kepala.
4) Kolaborasi pemberian analgetik.
Rasinal : Menurunkan/mengontrol nyeri, menurunkan rangsang System syaraf simpatis (Dengoes, 2000, p.41)
b. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan oedema.
Tujuan : Keseimbangan masukan dan pengeluaran
Tidak ada oedema.
Kriteria hasil : Menyatakan pemahaman tentang atau pembatasan cairan individual.
Intervensi :
1) Pantau haluaran urine, catat jumlah dan warna saat dimana diuresis terjadi
Rasional : Haluaran urine mungkin sedikit dan pekat (khususnya selama sehari karena penurunan perfusi ginjal.

2) Pantau atau hitung keseimbangan pemasukan dan pengeluaran selama 24 jam
Rasional : Terapi diuretic dapat disebabkan oleh kehilangan cairan tiba-tiba atau berlebihan meskipun oedema atau asites masih ada.
3) Kaji distensi leher dan penbuluh darah perifer.
Rasional : Retensi cairan berlebihan dapat dimanifestasikan oleh pembendungan vena dan pembentukan oedema.
4) Kaji bising usus, catat keluhan anoreksia, mual, distensi abdomen, konstipasi.
Rasional : Kongesti viseral dapat mengganggu fungsi gaster atau intestinal (Dengoes, 2000, p.59) :
c. Resiko injury berhubungan denagan diplopia
Tujuan : Pasien tidak mengalami cidera.
Kriteria hasil : Cidera dapat diminimalkan.
Intervensi :
1) Kaji tingkat aktivitas pasien.
Rasional : Untuk mengetahui sejauh mana aktivitas yang dilakukan oleh pasien
2) Anjurkan pasien untuk menghindari aktifitas yang membahayakan .
Rasional : Meminimalkan resiko cidera.

3) Bantu memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Rasional : Mengupayakan supaya pasien tidak banyak bergerak.
4) Berikan keamanan pada pasien dengan memberi bantalan pada penghalang tempat tidur.
Rasional : Meminimalkan resko jatuh. (Dengoes, 2000, p.56).
d. Intoleransi aktifitas berhubungan kelemahan otot
Tujuan : Berpartisipasi dalam aktivitas yang dapat diukur.
Kriteria hasil : Melaporkan peningkatan dalam toleransi aktivitas yang dapat diukur.
Menunjukkan penurunan dalam tanda-tanda intoleransi fisiologi.
Intervensi :
1) Kaji respon pasien terhadap aktivitas
Rasinoal : Menyebutkan parameter membantu dalam mengkaji respon fisiologi terhadap stress aktivutas dan bila ada merupakan indicator dan kelebihan kerja yang berkaitan dengan tingkat aktifitas.
2) Instruksikan menggunakan kursi saat mandi, duduk saat menyisir rambut dan sikat gigi, melakukan aktifitas dengan perlahan
Rasional : Teknik penghematan energi mengurangi penggunaan energi, juga membantu keseimbangan antara supply dan kebutuhan O2.
3) Berikan dorongan untuk melakukan aktivitas atau perawatan diri bertahap jika ditoleransi
Rasional : Kemajuan aktifitas bertahap mencegah peningkatan kerja jantung tiba-tiba. (Dengoes, 2000, p.45) :
e. Gangguan pemenuhan nutrisi berhubungan dengan anoreksia
Tujuan : Nafsu makan membaik.
Kriteria hasil : Melaporkan peningkatan nafsu makan
Tidak mual, tidak muntah
Intervensi :
1) Motivasi pasien untuk makan walaupun sedikit
Rasional : Kapasitas gaster turun kurang lebih 15 cm sehingga perlu makan sedikit tetapi sering
2) Ajarkan pada pasien untuk makan dalam keadaan hangat
Rasional : Dapat meningkatkan nafsu makan
3) Jelaskan pentingnya nutrisi untuk pasien
Rasional : Mengnalkan pasien tentang nutrisi yang dibituhkan
4) Hindari hal yang menyebabkan mual
Rasional : Mencegah muntah selama atau setelah makan
5) Kolaborasi pemberian obat anti emetic
Rasional : Mencegah rasa mual (Dengoes, 2000, p.51)
f. Kurang pengetahuan tentang cara perawatan dan rencana therapy pengobatan berhubungan dengan salah interprestasi informasi
Tujuan : Tidak terjadi salah unterprestasi informasi
Kriteria hasil : Pasien tahu dan mengerti tentang kondisi dan rencana therapy
Intervensi :
1) Jelaskan tentang hipertensi
Rasional : Memberi dasar untuk pemahaman tentang peningkatan tekanan darah
2) Bantu pasien dalam mengidentifikasi factor-faktor resiko kardiovaskuler yang dapat diubah misal : obesitas
Rasional : Factor-faktor ini telah menunjukkan hubungan dalam menunjang hipertensi, penyakit kardiovaskuler dan ginjal. (Dengoes, 2000, p.49) :
g. Gangguan pemenuhan istirahat tidur berhubungan dengan nyeri
Kriteria hasil : Dapat mengidentifikasi teknik menginduksi tidur
Melaporkan keseimbangan optimal dari istirahat dan aktifitas

Intervensi :
1) Atur prosedur untuk memberikan jumlah terkecil gangguan selama periode tidur
2) Batasi masukan minuman yang mengadung kafein setelah sore hari
3) Menyusun rutinitas relaksasi untuk persiapan tidur
4) Pertahankan ruang tidur sedikit dingin (Carpenito, 2000, p.382)

HERNIA

HERNIA


A. Pengertian
Hernia adalah suatu penonjolan isi perut dari rongga yang normal melalui lubang kongenital atau didapat (Manjoer Arif, 2000 : 313).
Hernia merupakan produksi atau penonjolan isi suatu rongga melalui defek atau bagian lemah dari dinding rongga bersangkutan. Pada hernia abdomen isi perut menonjol melalui defek atau bagian-bagian lemah dari lapisan muscular aponeurotik dinding perut. Hernia terdiri dari cincin, kantong dan isi hernia (R. Syamsuhidajat, Wim Dejong, 1998 : 700).
Hernia adalah penonjolan gelung atau ruas organ jaringan melalui lubang abnormal (Dorlands WA Newman, 2002 : 997).
Hernia adalah penonjolan abnormal suatu organ atau bagian suatu organ melalui lubang pada struktur di sekitarnya, umumnya profusion organ abdominal melalui celah pada dinding abdomen (Hinchliff, Sue 1999 : 206).
Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa hernia adalah herniasi omentum (lipatan peritoneum yang memanjang dari lambung ke organ abdomen yang berdekatan), usus, atau struktur tubuh lainnya melalui dinding abdomen.

Dilihat dari macam dan jenis hernia, maka dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
1. Berdasarkan terjadinya :
a. Hernia bawaan atau congenital
Hernia yang terdapat pada waktu lahir.
b. Hernia dapatan atau akuisita
Hernia yang disebabkan oleh pengangkatan benda berat atau strain atau cedera berat.
2. Menurut letaknya
Ada beberapa jenis hernia menurut letaknya, diantaranya hernia inguinal yaitu hernia lengkung usus ke dalam kanalis inguinalis.
3. Menurut sifatnya
a. Hernia Reponibel
Isi hernia dapat keluar masuk usus, keluar jika berdiri atau mengejan dan masuk lagi jika berbaring atau didorong masuk, tidak ada keluhan nyeri atau gejala abstruksi usus.
b. Hernia Irreponibel
Bila isi kantong hernia tidak dapat dikembalikan ke dalam rongga. Ini biasanya disebabkan oleh perlekatan isi kantong pada peritonium kantong hernia.
c. Hernia Inkarserata
Isi kantong tertangkap tidak dapat kembali ke dalam rongga perut disertai akibatnya yang berupa gangguan pasage. Dapat juga diartikan hernia irreponible yang sudah disertai dengan gejala ileus yaitu tidak dapat flatus. Jadi pada keadaan ini terjadi obstruksi jalan makan.
d. Hernia Strangulata
Hernia irreponible dengan gangguan vaskulerisasi mulai dari bendungan sampai nekrosis.
4. Hernia menurut terlihat atau tidaknya
a. Hernia Externa
Hernia yang menonjol keluar malalui dinding perut, pinggang atau perineum.
b. Hernia Interna
Tonjolan usus tanpa kantong hernia melalui suatu lubang dalam rongga perut seperti foramen winslow, ressesus retrosekalis atau defek dapatan pada mesinterium. Umpamanya setelah anatomi usus.
(Syamsuhidayat, 1998 : 701)

B. Etiologi
1. Kongenital
Terjadi sejak lahir adanya defek pada suatu dinding rongga.
2. Didapat (akquisita)
Hernia ini didapat oleh suatu sebab yaitu umur, obesitas, kelemahan umum, lansia, tekanan intra abdominal yang tinggi dan dalam waktu yang lama misalnya batuk kronis, gangguan proses kencing, kehamilan, mengejan saat miksi, mengejan saat defekasi, pekerjaan mengangkat benda berat (Mansjoer, Arif : 2000 : 314).
C. Pathofisiologi
Terjadinya hernia disebabkan oleh dua faktor yang pertama adalah faktor kongenital yaitu kegagalan penutupan prosesus vaginalis pada waktu kehamilan yang dapat menyebabkan masuknya isi rongga pertu melalui kanalis inguinalis, faktor yang kedua adalah faktor yang dapat seperti hamil, batuk kronis, pekerjaan mengangkat benda berat dan faktor usia, masuknya isi rongga perut melalui kanal ingunalis, jika cukup panjang maka akan menonjol keluar dari anulus ingunalis ekstermus. Apabila hernia ini berlanjut tonjolan akan sampai ke skrotum karena kanal inguinalis berisi tali sperma pada laki-laki, sehingga menyebakan hernia. Hernia ada yang dapat kembali secara spontan maupun manual juga ada yang tidak dapat kembali secara spontan ataupun manual akibat terjadi perlengketan antara isi hernia dengan dinding kantong hernia sehingga isi hernia tidak dapat dimasukkan kembali. Keadaan ini akan mengakibatkan kesulitan untuk berjalan atau berpindah sehingga aktivitas akan terganggu. Jika terjadi penekanan terhadap cincin hernia maka isi hernia akan mencekik sehingga terjadi hernia strangulate yang akan menimbulkan gejala illeus yaitu gejala abstruksi usus sehingga menyebabkan peredaran darah terganggu yang akan menyebabkan kurangnya suplai oksigen yang bisa menyebabkan Iskemik. Isi hernia ini akan menjadi nekrosis.
Kalau kantong hernia terdiri atas usus dapat terjadi perforasi yang akhirnya dapat menimbulkan abses lokal atau prioritas jika terjadi hubungan dengan rongga perut. Obstruksi usus juga menyebabkan penurunan peristaltik usus yang bisa menyebabkan konstipasi. Pada keadaan strangulate akan timbul gejala illeus yaitu perut kembung, muntah dan obstipasi pada strangulasi nyeri yang timbul lebih berat dan kontinyu, daerah benjolan menjadi merah.
(Manjoer, Arif, 2000 : 314 – 315, Syamsuhidayat, 1998 : 706)
D. Manifestasi Klinis
Umumnya pasien mengatakan turunnya selangkangan atau kemaluan. Benjolan tersebut bisa mengecil atau menghilang pada waktu tidur dan bila menangis, mengejan atau mengangkat benda berat atau bila posisi berdiri bisa timbul kembali. Bila telah terjadi komplikasi dapat ditemukan nyeri.
Keadaan umum pasien biasanya baik. Bila benjolan tidak tampak, pasien dapat disuruh mengejan dengan menutup mulut dalam posisi berdiri. Bila ada hernia maka akan tampak benjolan. Bila memang sudah tampak benjolan, harus diperiksa apakah benjolan tersebut dapat dimasukkan kembali. Pasien diminta berbaring, bernapas dengan mulut untuk mengurangi tekanan intraabdominal, lalu skrotum diangkat perlahan-lahan. Diagnosis pasti hernia pada umumnya sudah dapat ditegakkan dengan pemeriksaan klinis yang teliti.

Keadaan cincin hernia juga perlu diperiksa. Melalui skrotum jari telunjuk dimasukkan ke atas lateral dari tuberkulum pubikum. Ikuti fasikulus spermatikus sampai ke anulus inguinalis internus. Pada keadaan normal jari tangan tidak dapat masuk. Pasien diminta mengejan dan merasakan apakah ada massa yang menyentuh jari tangan: Bila massa tersebut menyentuh ujung jari maka itu adalah hernia inguinalis lateralis, sedangkan bila menyentuh sisi jari maka diagnosisnya adatah hernia inguinalis medialis.
E. Komplikasi
1. Terjadi perlengketan antara isi hernia dengan dinding kantong hernia sehingga isi her¬nia tidak dapat dimasukkan kembali. Keadaan ini disebut hernia inguinalis ireponibilis. pada keadaan ini belum ada ada gangguan penyaluran isi usus. Isi hernia yang tersering menyebabkan keadaan ireponibilis adalah omentum, karena mudah melekat pada dinding hernia dan isinya dapat menjadi lebih besar karena infiltrasi lemak. Usus besar lebih sering menyebabkan ireponibilis daripada usus halus.
2. Terjadi penekanan terhadap cincin hernia akibat makin banyaknya usus yang masuk. Keadaan ini menyebabkan gangguan aliran isi usus diikuti dengan gangguan vaskular (proses strangulasi). Keadaan ini disebut hernia inguinalis strangulata.

Pada keadaan strangulata akan timbul gejala ileus, yaitu perut kembung, muntah, dan obstipasi. Pada strangulasi nyeri yang timbul lebih hebat dan kontinyu, daerah benjolan menjadi merah, dan pasien menjadi gelisah.
F. Penatalaksanaan
Pada hernia inguinalis reponibilis dan ireponibilis dilak-ukan tindakan bedah elektif karena ditakutkan terjadinya komplikasi, sebaliknya bila telah terjadi proses strangulasi tindakan bedah harus dilakukan secepat mungkin sebelum terjadinya nekrosis usus.
Prinsip terapi operatif pada hernia inguinalis:
1. Untuk memperoleh keberhasilan maka faktor-faktor yang menimbulkan terjadinya her¬nia harus dicari dan diperbaiki (batuk kronik, prostat, tumor, asites, dan lain-lain). Dan defek yang ada direkonstruksi dan diaproksimasi tanpa tegangan.
2. Sakus hernia indirek harus di isolasi, dipisahkan dari peritoneum, dan diligasi. Anak-anak yang mempunyai anatomi inguinal normal, repair hanya terbatas pada ligasi tinggi, memisahkan sakus, dan mengecilkan cincin ke ukuran yang semestinya. Pada kebanyakan hernia orang dewasa, dasar inguinal juga harus direkonstruksi. Cincin inguinal juga dikecilkan. Pada wanita, cincin inguinal dapat ditutup total untuk mencegah rekurenasi dari tempat yang sama.
3. Hernia rekuren yang terjadi dalam beberapa bulan atau setahun biasanya menunjukkan adanya repair yang tidak adekuat. Sedangkan rekuren yang terjadi setelah dua tahun atau lebih cenderung disebabkan oleh timbulnya kelemahan yang progresif pada fasia pasien.. Rekurensi berulang setelah repair berhati-hati yang dilakukan oleh seorang ahli menunjukkan adanya defek dalam sintesis kolagen.
Tindakan bedah pada hernia adalah henioplasty dan herniorafy. Pada bedah elektif, kanalis dibuka, isi hernia dimasukkan, kantong diikat, dan dilakukan Bassinplasty atau. tekan yang lain untuk memperkuat dinding belakang kanalis inguinalis. .
Pada bedah darurat, prinsipnya hampir sama dengan bedah elektif. Cincin hernia langsuag dicari dan dipotong. Usus halus dilihat vital atau tidak. Bila vital dikembalikan ke rongga perut, sedangkan bila tidak, dilakukan reseksi dan anastomosis end to end. Untuk fasilitas dan keahlian terbatas, setelah cincin hernia dipotong dan usus dinyatakan vital langsung tutup kulit dan dirujuk ke rumah sakit dengan fasilitas lebih lengkap.
(Mansjoer Arif, 2000 : 315)
G. Pemeriksaan Penunjang
1. Foto Abdomen
Dapat menyatakan adanya kengerasan material pada apendiks (fekalit), ileus terlokalisis.
2. Urinalisis
Munculnya bakteri yang mengidentifikasi infeksi.

3. Elektrolit
Ketidakseimbangan akan menunggu fungsi organ, misalnya penurunan kalium akan mempengaruhi kontraktilitan otot jantung, mengarah kepada penurunan curah jantung.
4. AGD (Analisa Gas Darah)
Mengevaluasi status pernafasan terakhir.
5. ECG (Elektrocardiograf)
Penemuan akan sesuatu yang tidak normal membutuhkan prioritas perhatian untuk memberikan anestesi (Doengoes, 2000 : 902).
H. Fokus Pengkajian
Adapun data-data yang menjadi data focus dari hernia adalah sebagai berikut :
1. Aktivitas/istirahat
Gejala : Kelemahan, riwayat pekerjaan yang perlu mengangkat berat, tidak mampu melakukan aktivitas yang biasdanya dilakukan.
Tanda : Gangguan dalam berjalan, kelemahan ambulasi
2. Eliminasi
Gejala : Konstipasi, tidak dapat flaktus
Tanda : Adanya retensi urine atau inkontinensia urine
3. Makanan/cairan
Gejala : Hilangnya nafsu makan, mual, muntah
Tanda : BB turun, dehidrasi, lemas otot
4. Nyeri/kenyamanan
Gejala : Nyeri tekan pada kwadran bawah, semakin memburuk dengan adanya batuk, bersin, mengangkat benda berat, defekasi, nyeri tak ada hentinya/ada episode nyeri yang lebih berat secara intermiten.
Tanda : Prubahan gara berjalan, nyeri tekan abdomen
5. Keamanan
Gejala : Peningkatan suhu 39.6 - 400C
(Doengoes Marilyn E, 2000 : 472)

I. Pathway (Mansjoer. Arif, 2000 : 314-315 ; Syamsuhidayat, 1998 : 706 ; NANDA, 2005 ; Doengoes, 2000)



J. Diagnosa keperawatan.
Dari teori tentang Post Operasi Hernioraphy, dapat ditarik beberapa diagnose antara lain :
1. Nyeri berhubungan dengan diskontinuitas jaringan.
2. Imobilitas fisik berhubungan dengan keterbatasan gerak.
3. Resiko infeksi berhubungan dengan proses invasi kuman.
4. Kurangnya pengetahuan berhubungan dengan kurangnya informasi mengenai penyakitnya.
5. Konstipasi berhubungan dengan penurunan peristaltic usus.
(NANDA, 2005 ; Doengoes, 2000)
K. Fokus Intervensi
1. Nyeri berhubungan dengan diskontinuitas jaringan.
(Carpenito, 2000 : 782)
Tujuan : Menunjukkan nyeri berkurang atau hilang
Kriteria hasil : - Pasin melaporkan nyeri hilang /terkontrol
- normal
Intervensi
a. Kaji nyeri, catat lokasim intensitas (Skala 0 – 10)
Rasional : Membantu mengevaluasi derajat ketidaknyamanan dan keefektifan analgesic atau dapat menyatakan terjadinya komplikasi.

b. Pantau tanda-tanda vital
Rasional : Respons autoromik meliputi perubahan pada TD, nasi dan pernafasan yang berhubungan dengan keluhan/penghilangan nyeri.
c. Dorong Ambulasi diri
Rasional : Meningkatkan normalisasi fungsi organ contoh merangsang perstaltik dan lelancaran flaktus.
d. Ajarkan teknik relaksasi dan Distraksi
Rasional : Meningkatkan ostirahat, memusatkan kembali perhatian dapat meningkatkan koping.
e. Kolaborasi Pemberian Obat Alagetik
Rasional : Memberikan penurunan nyeri hebat
(Doengos Marillyn, 2000 : 523)
2. Imobilitas fisik berhubungan dengan keterbatasan gerak
Tujuan : Pasien dapat beraktivitas dengan nyaman
Kriteria hasil : - Menunjukkan mobilitas yang aman
- Meningkatkan kekuatan dan fungsi bagian tubuh yang sakit
a. Berikan aktivitas yang disesuaikan dengan pasien
Rasional : Imbolitas yang dipaksakan dapat memperberat keadaan.
b. Anjurkan pasien untuk beraktivitas sehari-hari dalam keterbatasan pasien
Rasional : Partisipasi pasien akan meningkatkan kemandirian pasien.
c. Anjurkan keluarga dalam melakukan meningkatkan kemandirian pasien
Rasional : Keterbatasan aktivitas bergantung pada kondisi yang khusus tetapi biasanya berkembang dengan lambat sesuai toleransi
d. Kolaborasi dalam pemberian obat
Rasional : Obat dapat meningkatkan rasa nyaman dan kerjasama pasien selama melakukan aktivitas.
(Doengoes Marillyn, 2000 : 324)
3. Konstipasi berhubungan dengan penurunan aktivitas fisik
Tujuan : Pasien dapat BABdengan lancar
Kriteria hasil : - Membuat kembali normal dari fungsi usus
- Mengeluarkan fases lunak/konsisten agak berbentuk tanpa mengejan.
Intervensi
a. Catat adanya distensi dan auskultasi peristaltic usus
Rasional : Distensi dan hilangnya peristaltic usus merupakan tanda bahwa fungsi defekasi hilang.
b. Anjurkan untuk melakukan ambulasi sesuai kemampuan.
Rasional : Menstimulasi peristaltic yang memfasilitasi kemungkinan terbentuknya usus.
c. Koaborasi dalam meningkatkan diet sesuai toleransi pasien
Rasional : Makanan padat akan dimulai pemberiannya sampai peristaltic kembali timbul.
d. Kolaborasi dalam pemberian supositoria/anama bila diperlukan
Rsional : Meningkatkan kebiasaan defekasi yang normal.
e. Kolaborasi dalam pemberian obat laksatif (Pelembek Feses)
Rasional : Membedakan fases, meningkatkan fungsi defektasi sesuai kebiasaan
(Doengoes Marillyn, 2000 : 334)
4. Resiko Infeksi berhubungan dengan prosedur invasive
Tujuan : Tidak terjadi infeksi
Kriteria Hasil : - tanda-tanda cital dalam batas normal
- Luka kering tidak ada pus
Intervensi :
a. Pantau tanda-tanda vital
Rasional : Suhu malam hari memucak yang kembali ke normal pada pagi hari adalah karakteristik infeksi.

b. Observasi penyatuan luka, karakter drainase, adanya inflamasi
Rasional : Perkembangan infeksi dapat memperlambat pemulihan
c. Pertahankan keperawatan luka aseptic
Rasional : Lindungi pasien dari kontaminasi selama pengantian
d. Pertahankan balutan kering
Rasional : Balutan basah bertindak sebagai sumbu penyerapan kontaminasi.
e. Kolaborasi dalam pemberian obat-obatan sesuai indikasi
Rasional : Diberikan untuk mengatasi nyeri-nyeri
(Doengoes Marilyn E, 2000 : 502)
5. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurangnya informasi tentang penyakitnya.
Tujuan : Keluarga dan pasien mengetahui dan memahami tentang penyakitnya.
Kriteria Hasil : - Pasien dan keluarga mengungkapkan pamahaman tentang proses penyakitnya.
Intervensi
a. Tinjau ulang pengetahuan pasien dan keluarga
Rasional : Memberikan dasar pengetahuan dimana pasien dan keluarga fapat membuat pilihan berdasarkan informasi.
b. Libatkan keluarga dalam proses penyembuhan
Rasional : Keluarga dapat melakukan perawatan sepulang dari RS
c. Anjurkan pasien untuk menghindari aktivitas berat
Rasional : Aktivitas berat dapat memperparah keadaan hernia.
d. Kaji ulang proses penyakit, factor penyebab terjadinya
Rasional : Pengetahuan dasar yang akurat memberikan kesempatan pasien untuk membuat pilihan tentang masa depan dan control penyakit kronis.
(Doengoes Marilyn E, 2000 : 512)

VULNUS LASERATUM

VULNUS LASERATUM

A. Pengertian.
Dari beberapa reverensi yang memuat tentang vulnus laseratum di antara reverensi yanhg penulis temukan adalah:
1. Chada (1995) menyatakan “Vulnus (luka) adalah satu keadaan dimana terputusnya kontinutas jaringan tubuh”. (p.66).
2. Mansjoer (2000) menyatakan “Vulnus Laseratum merupakan luka terbuka yang terdiri dari akibat kekerasan tumpul yang kuat sehingga melampaui elastisitas kulit atau otot”. (p.219).
3. Vulnus Laseratum ( luka robek ) adallah luka yang terjadi akibat kekerasan benda tumpul , robekan jaringan sering diikuti kerusakan alat di dalam seperti patah tulang. (http://one.indoskripsi.com)
Dari pengertian di atas penulis menyimpulkan bahwa vulnus laseratum adalaah luka robek yang tidak beraturan yang terjadi akibat kekerasan benda tumpul sering diikuti alat dalam seperti patah tulang.

B. Penyebab.
Chada 1995 menyatakan “Vulnus Laseratum dapat di sebabkan oleh beberapa hal di antaranya :
1. Alat yang tumpul.
2. Jatuh ke benda tajam dan keras.
3. Kecelakaan lalu lintas dan kereta api.
4. Kecelakaan akibat kuku dan gigitan”. (p.73)

C. Anatomi dan Pathofisiologi.
1. Kulit.
Price 2005 menyatakan “Secara mikroskopis kulit terdiri dari 3 lapisan epidermis, dermis, lemak subkutan. Kulit melindungi tubuh dari trauma dan merupakan benang pertahanan terhadap bakteri virus dan jamur. Kulit juga merupakan tempat sensasi raba, tekan, suhu, nyeri dan nikmat berkat jahitan ujung syaraf yang saling bertautan”. (p.1260).
a. Epidermis bagian terluas kulit di bagi menjadi 2 bagian lapisan yaitu :
1) Lapisan tanduk (stratum konsum) terdiri dari lapisan sel-sel tidak ber inti dan bertanduk.
2) Lapisan dalam (stratum malfigi) merupakan asal sel permukaan bertanduk setelah mengalami proses di ferensiasi .
b. Dermis
Dermis terletak di bawah epidermis dan terdiri dari seabut-serabut kolagen elastin, dan retikulum yang tertanam dalam substansi dasar. Matrik kulit mengandung pembuluh pembuluh darah dan syaraf yang menyokong nutrisi pada epidermis. Disekitar pembuluh darah yang kecil terdapat limfosit. Limfosit sel masuk dan leukosit yang melindungi tubuh dari infeksi dan infeksi dan instansi benda-benda asing. Serabut-serabut kolagen, elastin khusus menambahkan sel-sel basal epidermis pada dermis.
c. Lemak Subkutan
Price (2005) menyatakan “Lemak subkutan merupakan lapisan kulit ketiga yang terletak di bawah dermis. Lapisan ini merupakan bantalan untuk kulit isolasi untuk mempertahankan daya tarik seksual pada kedua jenis kelamin”. (p.1265)
2. Jaringan Otot
Otot adalah jaringan yang mempunyai kemampuan khusus yaitu berkontraksi dengan sedemikian maka pergerakan terlaksana. Otot terdiri dari serabut silindris yang mempunyai sifat sama dengan sel dari jaringan lain.semua sel di ikat menjadi berkas-berkas serabut kecil oleh sejenis jaringan ikat yang mengandung unsur kontaktil.
3. Jaringan Saraf
Menurut Jungviera, LC (1998:p.157)
Jaringan saraf terdiri dari 3 unsur:
a. Unsur berwarna abu-abu yang membentuk sel syaraf.
b. Unsur putih serabut saraf.
c. “Neuroclea, sejenis sel pendukung yang di jumpai hanya dalam saraf dan yang menghimpun serta menopang sel saraf dan serabut saraf. Setiap sel saraf dan prosesnya di sebut neuron. Sel saraf terdiri atas protoplasma yang berbutir khusus dengan nukleus besar dan berdinding sel lainnya.berbagai juluran timbul (prosesus) timbul dari sel saraf, juluran ini mengantarkan rangsangan rangsangan saraf kepada dan dari sel saraf.

D. Tipe Penyembuhan luka
Menurut Mansjoer (2000:p.397)
Terdapat 3 macam tipe penyembuhan luka, dimana pembagian ini dikarakteristikkan dengan jumlah jaringan yang hilang.
Primary Intention Healing (penyembuhan luka primer) yaitu penyembuhan yang terjadi segera setelah diusahakan bertautnya tepi luka biasanya dengan jahitan.
Secondary Intention Healing (penyembuhan luka sekunder) yaitu luka yang tidak mengalami penyembuhan primer. Tipe ini dikarakteristikkan oleh adanya luka yang luas dan hilangnya jaringan dalam jumlah besar. Proses penyembuhan terjadi lebih kompleks dan lebih lama. Luka jenis ini biasanya tetap terbuka.
Tertiary Intention Healing (penyembuhan luka tertier) yaitu luka yang dibiarkan terbuka selama beberapa hari setelah tindakan debridement. Setelah diyakini bersih, tepi luka dipertautkan (4-7 hari). Luka ini merupakan tipe penyembuhan luka yang terakhir. 

E. Pathofisiologi
Menurut Price (2006:p.36) 
Vulnus laserrratum terjadi akibat kekerasan benda tumpul, goresan, jatuh, kecelakaan sehingga kontuinitas jaringan terputus. Pada umumnya respon tubuh terhadap trauma akan terjadi proses peradangan atau inflamasi.reaksi peradangan akan terjadi apabila jaringan terputus.dalam keadaan ini ada peluang besar timbulnya infeksi yang sangat hebat. Penyebabnya cepat yang di sebabkan oleh mikroorganisme yang biasanya tidak berbahaya. Reaksi peradangan itu sebenarnya adalah peristiwa yang di koordinasikan dengan baik yang dinamis dan kontinyu untuk menimbulkan reaksi peradangan maka jaringan harus hidup dan harus di mikrosekulasi fungsional. Jika jaringan yang nekrosis luas maka reaksi peradangan tak di temukan di tengah jaringan yang hidup dengan sirkulasi yang utuh terjadi pada tepinya antara jaringan mati dan hidup. 

Menurut Buyton & hal (1997:p.762)
Nyeri timbul karena kulit mengalami luka infeksi sehingga terjadi kerusakan jaringan.sek-sel yang rusak akan membentuk zat kimia sehingga akan menurunkan ambang stimulus terhadap reseptormekano sensitif dan hernosenssitif. Apabila nyeri di atas hal ini dapat mengakibatkan gangguan rasa nyaman nyeri yang berlanjut istirahat atau tidur terganggu dan terjadi ketertiban gerak.


F. Pathway 

 
Modifikasi : (Chada 1995, Carpenito 2000, Doenges 2000, Guiton & Hall 1997, Price 2005)
 
G. Manifestasi klinis dan pemeriksaan penunjang
1. Mansjoer (2000) menyatakan “Manifestasi klinis vulnus laseratum adalah:
a. Luka tidak teratur
b. Jaringan rusak
c. Bengkak
d. Pendarahan
e. Akar rambut tampak hancur atau tercabut bila kekerasanya di daerah rambut
f. Tampak lecet atau memer di setiap luka”. (p.219) 
2. Pemeriksaan diagnostik vulnus laseratum adalah
a. Pemeriksaan diagnostik yang perlu di lakukan terutama jenis darah lengkap.tujuanya untuk mengetahui tentang infeksi yang terjadi.pemeriksaannya melalui laboratorium.
b. Sel-sel darah putih.leukosit dapat terjadi kecenderungan dengan kehilangan sel pada lesi luka dan respon terhadap proses infeksi.
c. Hitung darah lengkap.hematokrit mungkin tinggi atau lengkap.
d. Laju endap darah (LED) menunjukkan karakteristik infeksi.
e. Gula darah random memberikan petunjuk terhadap penyakit deabetus melitus  


 
H. Fokus Pengkajian
Doenges (2000, p.217) menyatakan bahwa untuk mengkaji pasien dengan vulnus laseratum di perlukan data-data sebagai berikut: 
1. Aktifitas atau istirahat
Gejala : merasa lemah, lelah.
Tanda : perubahan kesadaran, penurunan kekuatan tahanan keterbatasaan rentang gerak, perubahan aktifitas.
2. Sirkulasi
Gejala : perubahan tekanan darah atau normal.
Tanda : perubahan frekwensi jantung takikardi atau bradikardi.
3. Integritas ego
Gejala : perubahan tingkah laku dan kepribadian.
Tanda : ketakutan, cemas, gelisah.
4. Eliminasi
Gejala : konstipasi, retensi urin.
Tanda : belum buang air besar selama 2 hari.
5. Neurosensori
Gejala : vertigo, tinitus, baal pada ekstremitas, kesemutan, nyeri.
Tanda : sangat sensitif terhadap sentuhan dan gerakan, pusing, nyeri pada daerah cidera , kemerah-merahan.
6. Nyeri / kenyamanan
Gejala : nyeri pada daerah luka bila di sentuh atau di tekan.
Tanda : wajah meringis, respon menarik pada rangsang nyeri yang hebat, gelisah, tidak bisa tidur.
7. Kulit 
Gejala : nyeri, panas.
Tanda : pada luka warna kemerahan , bau, edema.

I. Diagnosa Keperawatan
1. Gangguan rasa nyaman (nyeri) b/d diskontuinitas jaringan.
2. Gangguan istirahat tidur kurang dari kebutuhan b/d nyeri.
3. Gangguan eliminasi BAB b/d kelemahan fisik.
4. Gangguan mobilitas fisik b/d kelemahan otot.
5. Gangguan integritas kulit b/d kerusakan jaringan.
6. Resiko tinggi infeksi b/d perawatan luka tidak efektif.
7. Resti kekurangan volume cairan b/d pendarahan. 

J. Fokus intervensi
Fokus intervensi di dasarkan oleh diagnosa keperawatan yang muncul pada teori.
1. Carpenito L (2000) menyatakan “Gangguan rasa nyaman nyeri adalah bedaan dimana indifidu mengalami sensasi yang tidak menyenangkan dalam berespon terhadap suatu rangsangan yang berbahaya”. (p.42)
Menurut Doenges (2000:p.915) 
Gangguan rasa nyaman nyeri muncul akibat jaringan kulit , jaringan otot, jaringan saraf terinfeksi oleh bakteri pathogen. Penggandaan zat-zat racunnya sehingga mengakibatkan perubahan neurologis yanng sangat besar.
Tujuan : nyeri hilang / berkurang.
KH : 
• pasien melaporkan reduksi nyeri dan hilangnya nyeri setelah tindakan penghilang nyeri.
• Pasien rileks.
• Dapat istirahat / tidur dan ikut serta dalam aktifitas sesuai kemampuan.
Intervensi : 
• Kaji tanda tada vital.
• Lakukan ambulasi diri.
• Ajarkan teknik distraksi dann relaksasi misalnya nafas dalam.
• Berikan obat sesuai petunjuk.

2. Menurut Doenges (2000:p.234)
Gangguan istirahat tidur kurang dari kebutuhan b/d nyeri. Gangguan kebutuhan istirahat dan tidur adalah gangguan jumlah kualitas tidur. 
Tujuan : gangguan istirahat tidur tetasi
KH : 
• Mengatakan peningkatan rasa segar, tidak pucat, tidak ada lingkar hitam pada mata.
• Melaporkan perbaikan dalam pola tidur. 
Intervensi : 
• Kaji penyebab nyeri / gangguan tidur.
• Berikan posisi nyaman pada klien.
• Anjurkan minum hangat.
• Kolabirasi dengan keluarga untuk menciptakan lingkungan tenang.

3. Menurut Doenges, (2000:p.234)
 Gangguan eliminasi BAB / konstipasi b/d penurunan mobilitas usus aadalah suatu penurunan frekwensi defekasi yag normal pada seseorang, di sertai gangguan kesulitan keluarnya feses yang tidak lengkap atau keluarnya feses yang sangat keras dan kering. 
Tujuan : tidak terjadi konstipasi.
KH : 
• pasien mempertahankan / menetapkan pola nominal fungsi usus.
• Konsistensi feses normal.
• Perut tidak kembung.
Intervensi : 
• Catat adanya distensi abdomen dan auskultasi peristaltik usus.
• Anjurkan untuk ambulasi sesuai kemampuan.
• Berikan obat laksatif pelembek feses bila di perlukan.
 
4. Menurut Doenges (2000:p.930-931)
Gangguan mobilitas fisik b/d kelemahan otot
Gangguan mobilitas fisik adalah keadaan di mana seorang individu mengalami atau beresiko keterbatasan gerak fisik tetapi bukan imobilisasi. (carpenito L J, 2000:43)  
Tujuan : mempertahankan mobilitas fisik
KH : 
• mempertahankan meningkatkan kekuatan dan fungsi atau bagian tubuh yang terkena.
• Mendemonstrasikan teknik atau perilaku yang di ajarkan.
• Kemungkinan melakukan aktifitas.
Intervensi : 
• Kaji kemampuan secara fungsional / luasnya kerusakan awal.
• Bantu dalam aktifitas perawatan diri.
• Pantau respon pasien terhadap aktivitas. (doenges, 2000: 930-931)



5. Menurut Willson J.M (2007:p.466)
Gangguan integritas kulit b/d kerusakan jaringan.
Kerusakan integritas kulit adalah suatu kondisi individu yang mengalami perubahan dermis dan atau epidermis .
Tujuan : tidak terjadi gangguan integritas kulit.
KH : 
• Bebas tanda tanda infeksi.
• Mencapai penyembuhan luka tepat waktu
Intervensi : 
• Kaji / catat ukuran, warna keadaan luka, perhatikan daerah sekitar luka.
• Ajarkan pemeliharaan luka secara aseptik.
• Observasi tanda-tanda infeksi. 

6. Menurut Willson J.M (2007:p.261)
Resiko infeksi sekunder b/d perawatan luka tidak efektif.
Resiko infeksi adalah suatu kondisi yang beresiko mengalami peningkatan terserang organisme pathogenik.
Tujuan : tidak terjadi infeksi lebih lanjut.
KH : 
• Tidak terdapat tanda tanda infeksi lebih lanjut dengan luka bersih tidak ada pus.
Intervensi : 
• Observasi daerah kulit yang mengalami kerusakan.
• Pantau ssuhu tubuh secara teratur.
• Berikan antibiotik secara teratur.

7. Menurut Doenges (2000 : p.913) bahwa : 
Resiko tinggi kekurangan volume cairan b/d pendarahan.
Tujuan : Volume cairan terpenuhi
KH : 
• Keseimbangan cairan yang adekuat ditandai dengan TTV yang stabil , turgor, kulit normal, membran rukosa lembab, pengeluaran urine yang sesuai.
 Intervensi :
• Kaji pengeluaran dan pemasukan cairan.
• Pantau tanda-tanda vital.
• Catat munculnya mual muntah.
• Berikan cairan parenteral sesuai indikasi.
• Pantau suhu kulit, palpasi, denyut perifer.
 
Daftar Pustaka


Carpenito L.J. 2000. Diagnosa Keperawatan Aplikasi Pada Pediatrik Klinis. (terjemahan) Edisi 6. EGC: Jakarta. 
Chada, P.V. 1993. Catatan Kuliah Ilmu Forensik & Teknologi (Terjemahan). Widya Medika: Jakarta.
Doenges, M.E. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan Pedoman untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien (Terjemahan). Edisi EGC: Jakarta.
Guyton & Hall. 1997. Fisiologi Kedokteran (Terjemahan). Edisi 9. EGC: Jakarta.
Mansjoer,A. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 3. Jilid 2. Medika Auskulapius FKUI: Jakarta.
Nanda. 2006. Panduan Diagnosa Keperawatan. Prima Medika: Jakarta.
Willson.J.M. 2007. Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Edisi 7. EGC: Jakarta.
Tucker.S.M. 1998. Standar Keperawatan Pasien Proses Keperawatan Diagnosa dan Evaluasi (Terjemahan). Volume 2. Edisi 2. EGC: Jakarta.
   
   


 
BAB III
TINJAUAN KASUS

A. Pengkajian
Asuhan Keperawatan pada Tuan K di ruang perawatan Bugenville RSU Dr.R.Soetrasno Rembang. Pengkajian ini dilakukan pada tanggal 23 Juni 2009 dengan cara autoanamese, alloanamese, pemeriksaan fisik dan status pasien didapatkan dari data nama Tuan H, umur 20 tahun, jenis kelamin laki-laki, status belum kawin, agama Islam, pekerjaan Pelajar, alamat Soditan-Lasem, sebagai penanggung jawab Tuan S, umur 58 tahun, alamat sama dengan pasien, hubungan dengan pasien adalah ayah. Pasien masuk RS tanggal 16 Juni 2009, no.CM 162641, diagnosa Vulnus laseratum. Pada saat pengkajian ditemukan keluhan nyeri pada kaki sebelah kiri yaitu P :Nyeri bertambah saat digunakan untuk bergerak, Q : Nyeri dirasakan seperti ditusuk, R : Pada paha kanan, S : Skala nyeri 6, T : Hilang timbul.
Dari riwayat kesehatan sekarang diperoleh data pasien adalah korban kecelakaan lalu lintas dan pasien datang di ruang IGD tanggal 16 Juni 2009 jam 18.30, sebelumnya pasien kecelakaan menabrak sepeda dan terjatuh, kaki kirinya tertusuk bambu. Di IGD didapatkan data sebagai berikut :KU : Somnolen, terdapat luka sepanjang ± 15cm, TTV : N : 72x/menit, S : 362 o C, RR : 16x/menit, TD : 90/palpasi. Di IGD mendapatkan terapi O2 3 liter/menit, infus RL 2 jalur, injeksi kalnek 1gr ekstra, perawatan luka heting ± 20 jahitan, kemudian pasien dipindahkan ke ruang operasi untuk dilakukan perawatan medis selanjutnya. Kemudian pasien dibawa ke ruang ICU selama 2 hari untuk diobservasi keadaannya, kemudian pada tanggal 18 Juni 2009 jam 12.30 pasien dipindahkan ke ruang Bogenvile untuk mendapatkan perawatan lebih lanjut.
Riwayat penyakit dahulu pasien mengatakan belum pernah diopname di Rumah Sakit dan tidak memiliki Penyakit keturunan atau menular.
Pola nutrisi adalah. Pasien mengatakan makan 3x sehari dengan menu diit Rumah Sakit dengan menu,nasi, sayur, lauk habis ½ porsi, minum ± 3 gelas/hari. Pola eliminasi, pasien mengatakan BAB 1x2 hari dengan warna kuning bau khas dan BAK 3-4x/hari. 
Pola ADL: Kemampuan perawatan diri pasien, mandi, toileting, berpakaian,berpindah, ambulasi/ROM di bantu orang lain. Dan untuk kebutuhan makan/minum, dan mobilitas di tempat tidur pasien lakukan secara mandiri. Pola tidur dan istirahat pasien mengatakan tidur sehari selama 5-6 jam sehari dan sering terbangun karena nyeri yang dirasakannya.
Data penunjang pada tanggal 20 Juni 2009 yaitu Foto Thorax : 5 kelet dan soft tissue tampak normal, Trachea/mediastinum tak tampak devlasi : Cor : Apeks ke laterokavdal, Pulmo : gerakan vaskular normal dan Hilus tak melebar, Diafragma : sinus kostorremikus. Hasil pemeriksaan laboratorium tanggal 17 Juni 2009 yaitu Hemoglobin 8,5 P12 –P16/L14-L18 g/ 100ml. Program terapi tanggal 21 Juni 2009 yaitu Ceftriaxon 1x1 1gram, Keterolak 3x1 25mlgram.
B. Analisa Data.
1. Analisa data yang pertama yaitu pasien mengatakan nyeri pada kaki sebelah kiri P :Nyeri bertambah saat digunakan untuk bergerak, Q : Nyeri dirasakan seperti ditusuk, R : Pada paha kanan, S : Skala nyeri 6, T : Hilang timbul. Dan data objektif terdapat vulnus laseratum sepanjang 15 cm dan 20 jahitan, TTV : N : 72x/menit, S : 367 o C, RR : 20x/menit, TD : 110/60mmHg. Sehingga muncul diagnosa yang pertama yaitu nyeri berhubungan dengan diskontuinitas jaringan.
2. Analisa data yang kedua yaitu data subjektif pasien mengatakan lemas dan data objektifnya 
4 4
5 2
TTV : N : 72x/menit, S : 367 o C, RR : 20x/menit, TD : 110/60mmHg. Dari data tersebut diambil diagnosa intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan fisik.
3. Analisa data yang ketiga yaitu pasien mengatakan nyeri pada kaki sebelah kirinya dan data objektif terdapat vulnus laseratum sepanjang ± 15 cm dan ± 20 jahitan, luka kering, tidak ada darah, tidak ada pus. Dari data tersebut diambil diagnosa resiko tinggi infeksi berhubungan dengan perawatan luka.
C. Rencana Intervensi, Implementasi, dan Evaluasi
Diagnosa yang muncul menurut prioritas adalah :
1. Nyeri berhubungan dengan diskontuinitas jaringan. Tujuan dan kriteria hasil setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam diharapkan nyeri berkurang dengan Kriteria hasil : nyeri berkurang, skala nyeri 4-5, pasien tampak rileks. 
Intervensi yang penulis lakukan antara lain : kaji intensitas, skala dan karakteristik nyeri, monitor TTV, ajarkan teknik distraksi dan relaksasi, kolaborasi pemberian obat analgetik dan antibiotik.
Implementasi dilakukan pada tanggal 23 Juni 2009 pukul 08.00 mengukur TTV, mengajarkan teknik distraksi dan relaksasi, mengkaji intensitas skala nyeri. Responnya pasien tampak meringis menahan nyeri.
Evaluasi dilakukan pada tanggal 23 Juni 2009 pukul 13.00 WIB dengan SOAP yaitu S : pasien mengatakan nyeri pada daerah yang luka, P : nyeri bertambah saat dilakukan untuk bergerak, Q : nyeri dirasakan seperti ditusuk-tusuk, R : pada paha kiri, S : skala nyeri 6, T : hilang timbul, O : TD : 100/60mmHg, N : 72x/menit, S : 367oC, RR : 20x/menit, terdapat VL sepanjang ± 15cm dan ± 20 jahitan, luka kering tidak ada darah dan pus, A : masalah nyeri belum teratasi, P : lanjutkan intervensi 1,2,3,4.
2. Gangguan intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan fisik.
Tujuan setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24jam diharapkan intoleransi aktivitas teratasi, ADL terpenuhi.
Intervensi yang penulis buat antara lain :catat aktivitas pasien sehari-hari, batasi aktivitas pasien yang berat, anjurkan pasien untuk melakukan pergerakan tubuh yang tepat, anjurkan ambulasi dini, anjurkan orang terdekat untuk membantu pemenuhan ADL. Implementasi yang dilakukan pada tanggal 24 Juni 2009 menganjurkan pasien untuk beraktivitas semampunya dan menganjurkan pasien untuk melakukan pergerakan yang ringan.
Evaluasi dilakukan pada tanggal 24 Juni 2009 dengan S : pasien mengatakan sudah bisa duduk walaupun masih dengan bantuan keluarga, O : pasien tampak duduk di tempat tidur, A : masalah intoleransi aktivitas teratasi sebagian, P : lanjutkan intervensi 1,2,3,4,5,6.
 
3. Resiko infeksi berhubungan dengan perawatan luka yang tidak efektif.
Tujuan setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24 jam diharapkan resiko tinggi infeksi tidak terjadi dengan kriteria hasil tidak ada tanda-tanda infeksi (kolor, rubor, disfungsi laesa). 
Intervensi yang penulis buat adalah kaji tanda-tanda infeksi, lakukan ganti balut, kolaborasi pemberian anti biotik, memonitor TTV.
Implementasi dilakukan pada tanggal 24 Juni 2009 antara lain melakukan perawatan luka ganti balut dengan teknik aseptik, mengukur TTV jam 12.30.
Evaluasi dilakukan tanggal 24 Juni 2009 dengan SOAP yaitu S : pasien mengatakan masih panas dan pasien mengatakan lemas, O : KU : lemah, TD : 120/60 mmHg, N : 80 x/menit, R : 24 x/menit, S : 37oC, A : masalah resiko tinggi infeksi teratasi, P : pertahankan intervensi 1,2,3,4.

VULNUS LASERATUM

VULNUS LASERATUM

A. Pengertian.
Dari beberapa reverensi yang memuat tentang vulnus laseratum di antara reverensi yanhg penulis temukan adalah:
1. Chada (1995) menyatakan “Vulnus (luka) adalah satu keadaan dimana terputusnya kontinutas jaringan tubuh”. (p.66).
2. Mansjoer (2000) menyatakan “Vulnus Laseratum merupakan luka terbuka yang terdiri dari akibat kekerasan tumpul yang kuat sehingga melampaui elastisitas kulit atau otot”. (p.219).
3. Vulnus Laseratum ( luka robek ) adallah luka yang terjadi akibat kekerasan benda tumpul , robekan jaringan sering diikuti kerusakan alat di dalam seperti patah tulang. (http://one.indoskripsi.com)
Dari pengertian di atas penulis menyimpulkan bahwa vulnus laseratum adalaah luka robek yang tidak beraturan yang terjadi akibat kekerasan benda tumpul sering diikuti alat dalam seperti patah tulang.

B. Penyebab.
Chada 1995 menyatakan “Vulnus Laseratum dapat di sebabkan oleh beberapa hal di antaranya :
1. Alat yang tumpul.
2. Jatuh ke benda tajam dan keras.
3. Kecelakaan lalu lintas dan kereta api.
4. Kecelakaan akibat kuku dan gigitan”. (p.73)

C. Anatomi dan Pathofisiologi.
1. Kulit.
Price 2005 menyatakan “Secara mikroskopis kulit terdiri dari 3 lapisan epidermis, dermis, lemak subkutan. Kulit melindungi tubuh dari trauma dan merupakan benang pertahanan terhadap bakteri virus dan jamur. Kulit juga merupakan tempat sensasi raba, tekan, suhu, nyeri dan nikmat berkat jahitan ujung syaraf yang saling bertautan”. (p.1260).
a. Epidermis bagian terluas kulit di bagi menjadi 2 bagian lapisan yaitu :
1) Lapisan tanduk (stratum konsum) terdiri dari lapisan sel-sel tidak ber inti dan bertanduk.
2) Lapisan dalam (stratum malfigi) merupakan asal sel permukaan bertanduk setelah mengalami proses di ferensiasi .
b. Dermis
Dermis terletak di bawah epidermis dan terdiri dari seabut-serabut kolagen elastin, dan retikulum yang tertanam dalam substansi dasar. Matrik kulit mengandung pembuluh pembuluh darah dan syaraf yang menyokong nutrisi pada epidermis. Disekitar pembuluh darah yang kecil terdapat limfosit. Limfosit sel masuk dan leukosit yang melindungi tubuh dari infeksi dan infeksi dan instansi benda-benda asing. Serabut-serabut kolagen, elastin khusus menambahkan sel-sel basal epidermis pada dermis.
c. Lemak Subkutan
Price (2005) menyatakan “Lemak subkutan merupakan lapisan kulit ketiga yang terletak di bawah dermis. Lapisan ini merupakan bantalan untuk kulit isolasi untuk mempertahankan daya tarik seksual pada kedua jenis kelamin”. (p.1265)
2. Jaringan Otot
Otot adalah jaringan yang mempunyai kemampuan khusus yaitu berkontraksi dengan sedemikian maka pergerakan terlaksana. Otot terdiri dari serabut silindris yang mempunyai sifat sama dengan sel dari jaringan lain.semua sel di ikat menjadi berkas-berkas serabut kecil oleh sejenis jaringan ikat yang mengandung unsur kontaktil.
3. Jaringan Saraf
Menurut Jungviera, LC (1998:p.157)
Jaringan saraf terdiri dari 3 unsur:
a. Unsur berwarna abu-abu yang membentuk sel syaraf.
b. Unsur putih serabut saraf.
c. “Neuroclea, sejenis sel pendukung yang di jumpai hanya dalam saraf dan yang menghimpun serta menopang sel saraf dan serabut saraf. Setiap sel saraf dan prosesnya di sebut neuron. Sel saraf terdiri atas protoplasma yang berbutir khusus dengan nukleus besar dan berdinding sel lainnya.berbagai juluran timbul (prosesus) timbul dari sel saraf, juluran ini mengantarkan rangsangan rangsangan saraf kepada dan dari sel saraf.

D. Tipe Penyembuhan luka
Menurut Mansjoer (2000:p.397)
Terdapat 3 macam tipe penyembuhan luka, dimana pembagian ini dikarakteristikkan dengan jumlah jaringan yang hilang.
Primary Intention Healing (penyembuhan luka primer) yaitu penyembuhan yang terjadi segera setelah diusahakan bertautnya tepi luka biasanya dengan jahitan.
Secondary Intention Healing (penyembuhan luka sekunder) yaitu luka yang tidak mengalami penyembuhan primer. Tipe ini dikarakteristikkan oleh adanya luka yang luas dan hilangnya jaringan dalam jumlah besar. Proses penyembuhan terjadi lebih kompleks dan lebih lama. Luka jenis ini biasanya tetap terbuka.
Tertiary Intention Healing (penyembuhan luka tertier) yaitu luka yang dibiarkan terbuka selama beberapa hari setelah tindakan debridement. Setelah diyakini bersih, tepi luka dipertautkan (4-7 hari). Luka ini merupakan tipe penyembuhan luka yang terakhir. 

E. Pathofisiologi
Menurut Price (2006:p.36) 
Vulnus laserrratum terjadi akibat kekerasan benda tumpul, goresan, jatuh, kecelakaan sehingga kontuinitas jaringan terputus. Pada umumnya respon tubuh terhadap trauma akan terjadi proses peradangan atau inflamasi.reaksi peradangan akan terjadi apabila jaringan terputus.dalam keadaan ini ada peluang besar timbulnya infeksi yang sangat hebat. Penyebabnya cepat yang di sebabkan oleh mikroorganisme yang biasanya tidak berbahaya. Reaksi peradangan itu sebenarnya adalah peristiwa yang di koordinasikan dengan baik yang dinamis dan kontinyu untuk menimbulkan reaksi peradangan maka jaringan harus hidup dan harus di mikrosekulasi fungsional. Jika jaringan yang nekrosis luas maka reaksi peradangan tak di temukan di tengah jaringan yang hidup dengan sirkulasi yang utuh terjadi pada tepinya antara jaringan mati dan hidup. 

Menurut Buyton & hal (1997:p.762)
Nyeri timbul karena kulit mengalami luka infeksi sehingga terjadi kerusakan jaringan.sek-sel yang rusak akan membentuk zat kimia sehingga akan menurunkan ambang stimulus terhadap reseptormekano sensitif dan hernosenssitif. Apabila nyeri di atas hal ini dapat mengakibatkan gangguan rasa nyaman nyeri yang berlanjut istirahat atau tidur terganggu dan terjadi ketertiban gerak.


F. Pathway 

 
Modifikasi : (Chada 1995, Carpenito 2000, Doenges 2000, Guiton & Hall 1997, Price 2005)
 
G. Manifestasi klinis dan pemeriksaan penunjang
1. Mansjoer (2000) menyatakan “Manifestasi klinis vulnus laseratum adalah:
a. Luka tidak teratur
b. Jaringan rusak
c. Bengkak
d. Pendarahan
e. Akar rambut tampak hancur atau tercabut bila kekerasanya di daerah rambut
f. Tampak lecet atau memer di setiap luka”. (p.219) 
2. Pemeriksaan diagnostik vulnus laseratum adalah
a. Pemeriksaan diagnostik yang perlu di lakukan terutama jenis darah lengkap.tujuanya untuk mengetahui tentang infeksi yang terjadi.pemeriksaannya melalui laboratorium.
b. Sel-sel darah putih.leukosit dapat terjadi kecenderungan dengan kehilangan sel pada lesi luka dan respon terhadap proses infeksi.
c. Hitung darah lengkap.hematokrit mungkin tinggi atau lengkap.
d. Laju endap darah (LED) menunjukkan karakteristik infeksi.
e. Gula darah random memberikan petunjuk terhadap penyakit deabetus melitus  


 
H. Fokus Pengkajian
Doenges (2000, p.217) menyatakan bahwa untuk mengkaji pasien dengan vulnus laseratum di perlukan data-data sebagai berikut: 
1. Aktifitas atau istirahat
Gejala : merasa lemah, lelah.
Tanda : perubahan kesadaran, penurunan kekuatan tahanan keterbatasaan rentang gerak, perubahan aktifitas.
2. Sirkulasi
Gejala : perubahan tekanan darah atau normal.
Tanda : perubahan frekwensi jantung takikardi atau bradikardi.
3. Integritas ego
Gejala : perubahan tingkah laku dan kepribadian.
Tanda : ketakutan, cemas, gelisah.
4. Eliminasi
Gejala : konstipasi, retensi urin.
Tanda : belum buang air besar selama 2 hari.
5. Neurosensori
Gejala : vertigo, tinitus, baal pada ekstremitas, kesemutan, nyeri.
Tanda : sangat sensitif terhadap sentuhan dan gerakan, pusing, nyeri pada daerah cidera , kemerah-merahan.
6. Nyeri / kenyamanan
Gejala : nyeri pada daerah luka bila di sentuh atau di tekan.
Tanda : wajah meringis, respon menarik pada rangsang nyeri yang hebat, gelisah, tidak bisa tidur.
7. Kulit 
Gejala : nyeri, panas.
Tanda : pada luka warna kemerahan , bau, edema.

I. Diagnosa Keperawatan
1. Gangguan rasa nyaman (nyeri) b/d diskontuinitas jaringan.
2. Gangguan istirahat tidur kurang dari kebutuhan b/d nyeri.
3. Gangguan eliminasi BAB b/d kelemahan fisik.
4. Gangguan mobilitas fisik b/d kelemahan otot.
5. Gangguan integritas kulit b/d kerusakan jaringan.
6. Resiko tinggi infeksi b/d perawatan luka tidak efektif.
7. Resti kekurangan volume cairan b/d pendarahan. 

J. Fokus intervensi
Fokus intervensi di dasarkan oleh diagnosa keperawatan yang muncul pada teori.
1. Carpenito L (2000) menyatakan “Gangguan rasa nyaman nyeri adalah bedaan dimana indifidu mengalami sensasi yang tidak menyenangkan dalam berespon terhadap suatu rangsangan yang berbahaya”. (p.42)
Menurut Doenges (2000:p.915) 
Gangguan rasa nyaman nyeri muncul akibat jaringan kulit , jaringan otot, jaringan saraf terinfeksi oleh bakteri pathogen. Penggandaan zat-zat racunnya sehingga mengakibatkan perubahan neurologis yanng sangat besar.
Tujuan : nyeri hilang / berkurang.
KH : 
• pasien melaporkan reduksi nyeri dan hilangnya nyeri setelah tindakan penghilang nyeri.
• Pasien rileks.
• Dapat istirahat / tidur dan ikut serta dalam aktifitas sesuai kemampuan.
Intervensi : 
• Kaji tanda tada vital.
• Lakukan ambulasi diri.
• Ajarkan teknik distraksi dann relaksasi misalnya nafas dalam.
• Berikan obat sesuai petunjuk.

2. Menurut Doenges (2000:p.234)
Gangguan istirahat tidur kurang dari kebutuhan b/d nyeri. Gangguan kebutuhan istirahat dan tidur adalah gangguan jumlah kualitas tidur. 
Tujuan : gangguan istirahat tidur tetasi
KH : 
• Mengatakan peningkatan rasa segar, tidak pucat, tidak ada lingkar hitam pada mata.
• Melaporkan perbaikan dalam pola tidur. 
Intervensi : 
• Kaji penyebab nyeri / gangguan tidur.
• Berikan posisi nyaman pada klien.
• Anjurkan minum hangat.
• Kolabirasi dengan keluarga untuk menciptakan lingkungan tenang.

3. Menurut Doenges, (2000:p.234)
 Gangguan eliminasi BAB / konstipasi b/d penurunan mobilitas usus aadalah suatu penurunan frekwensi defekasi yag normal pada seseorang, di sertai gangguan kesulitan keluarnya feses yang tidak lengkap atau keluarnya feses yang sangat keras dan kering. 
Tujuan : tidak terjadi konstipasi.
KH : 
• pasien mempertahankan / menetapkan pola nominal fungsi usus.
• Konsistensi feses normal.
• Perut tidak kembung.
Intervensi : 
• Catat adanya distensi abdomen dan auskultasi peristaltik usus.
• Anjurkan untuk ambulasi sesuai kemampuan.
• Berikan obat laksatif pelembek feses bila di perlukan.
 
4. Menurut Doenges (2000:p.930-931)
Gangguan mobilitas fisik b/d kelemahan otot
Gangguan mobilitas fisik adalah keadaan di mana seorang individu mengalami atau beresiko keterbatasan gerak fisik tetapi bukan imobilisasi. (carpenito L J, 2000:43)  
Tujuan : mempertahankan mobilitas fisik
KH : 
• mempertahankan meningkatkan kekuatan dan fungsi atau bagian tubuh yang terkena.
• Mendemonstrasikan teknik atau perilaku yang di ajarkan.
• Kemungkinan melakukan aktifitas.
Intervensi : 
• Kaji kemampuan secara fungsional / luasnya kerusakan awal.
• Bantu dalam aktifitas perawatan diri.
• Pantau respon pasien terhadap aktivitas. (doenges, 2000: 930-931)



5. Menurut Willson J.M (2007:p.466)
Gangguan integritas kulit b/d kerusakan jaringan.
Kerusakan integritas kulit adalah suatu kondisi individu yang mengalami perubahan dermis dan atau epidermis .
Tujuan : tidak terjadi gangguan integritas kulit.
KH : 
• Bebas tanda tanda infeksi.
• Mencapai penyembuhan luka tepat waktu
Intervensi : 
• Kaji / catat ukuran, warna keadaan luka, perhatikan daerah sekitar luka.
• Ajarkan pemeliharaan luka secara aseptik.
• Observasi tanda-tanda infeksi. 

6. Menurut Willson J.M (2007:p.261)
Resiko infeksi sekunder b/d perawatan luka tidak efektif.
Resiko infeksi adalah suatu kondisi yang beresiko mengalami peningkatan terserang organisme pathogenik.
Tujuan : tidak terjadi infeksi lebih lanjut.
KH : 
• Tidak terdapat tanda tanda infeksi lebih lanjut dengan luka bersih tidak ada pus.
Intervensi : 
• Observasi daerah kulit yang mengalami kerusakan.
• Pantau ssuhu tubuh secara teratur.
• Berikan antibiotik secara teratur.

7. Menurut Doenges (2000 : p.913) bahwa : 
Resiko tinggi kekurangan volume cairan b/d pendarahan.
Tujuan : Volume cairan terpenuhi
KH : 
• Keseimbangan cairan yang adekuat ditandai dengan TTV yang stabil , turgor, kulit normal, membran rukosa lembab, pengeluaran urine yang sesuai.
 Intervensi :
• Kaji pengeluaran dan pemasukan cairan.
• Pantau tanda-tanda vital.
• Catat munculnya mual muntah.
• Berikan cairan parenteral sesuai indikasi.
• Pantau suhu kulit, palpasi, denyut perifer.
 
Daftar Pustaka


Carpenito L.J. 2000. Diagnosa Keperawatan Aplikasi Pada Pediatrik Klinis. (terjemahan) Edisi 6. EGC: Jakarta. 
Chada, P.V. 1993. Catatan Kuliah Ilmu Forensik & Teknologi (Terjemahan). Widya Medika: Jakarta.
Doenges, M.E. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan Pedoman untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien (Terjemahan). Edisi EGC: Jakarta.
Guyton & Hall. 1997. Fisiologi Kedokteran (Terjemahan). Edisi 9. EGC: Jakarta.
Mansjoer,A. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 3. Jilid 2. Medika Auskulapius FKUI: Jakarta.
Nanda. 2006. Panduan Diagnosa Keperawatan. Prima Medika: Jakarta.
Willson.J.M. 2007. Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Edisi 7. EGC: Jakarta.
Tucker.S.M. 1998. Standar Keperawatan Pasien Proses Keperawatan Diagnosa dan Evaluasi (Terjemahan). Volume 2. Edisi 2. EGC: Jakarta.
   
   


 
BAB III
TINJAUAN KASUS

A. Pengkajian
Asuhan Keperawatan pada Tuan K di ruang perawatan Bugenville RSU Dr.R.Soetrasno Rembang. Pengkajian ini dilakukan pada tanggal 23 Juni 2009 dengan cara autoanamese, alloanamese, pemeriksaan fisik dan status pasien didapatkan dari data nama Tuan H, umur 20 tahun, jenis kelamin laki-laki, status belum kawin, agama Islam, pekerjaan Pelajar, alamat Soditan-Lasem, sebagai penanggung jawab Tuan S, umur 58 tahun, alamat sama dengan pasien, hubungan dengan pasien adalah ayah. Pasien masuk RS tanggal 16 Juni 2009, no.CM 162641, diagnosa Vulnus laseratum. Pada saat pengkajian ditemukan keluhan nyeri pada kaki sebelah kiri yaitu P :Nyeri bertambah saat digunakan untuk bergerak, Q : Nyeri dirasakan seperti ditusuk, R : Pada paha kanan, S : Skala nyeri 6, T : Hilang timbul.
Dari riwayat kesehatan sekarang diperoleh data pasien adalah korban kecelakaan lalu lintas dan pasien datang di ruang IGD tanggal 16 Juni 2009 jam 18.30, sebelumnya pasien kecelakaan menabrak sepeda dan terjatuh, kaki kirinya tertusuk bambu. Di IGD didapatkan data sebagai berikut :KU : Somnolen, terdapat luka sepanjang ± 15cm, TTV : N : 72x/menit, S : 362 o C, RR : 16x/menit, TD : 90/palpasi. Di IGD mendapatkan terapi O2 3 liter/menit, infus RL 2 jalur, injeksi kalnek 1gr ekstra, perawatan luka heting ± 20 jahitan, kemudian pasien dipindahkan ke ruang operasi untuk dilakukan perawatan medis selanjutnya. Kemudian pasien dibawa ke ruang ICU selama 2 hari untuk diobservasi keadaannya, kemudian pada tanggal 18 Juni 2009 jam 12.30 pasien dipindahkan ke ruang Bogenvile untuk mendapatkan perawatan lebih lanjut.
Riwayat penyakit dahulu pasien mengatakan belum pernah diopname di Rumah Sakit dan tidak memiliki Penyakit keturunan atau menular.
Pola nutrisi adalah. Pasien mengatakan makan 3x sehari dengan menu diit Rumah Sakit dengan menu,nasi, sayur, lauk habis ½ porsi, minum ± 3 gelas/hari. Pola eliminasi, pasien mengatakan BAB 1x2 hari dengan warna kuning bau khas dan BAK 3-4x/hari. 
Pola ADL: Kemampuan perawatan diri pasien, mandi, toileting, berpakaian,berpindah, ambulasi/ROM di bantu orang lain. Dan untuk kebutuhan makan/minum, dan mobilitas di tempat tidur pasien lakukan secara mandiri. Pola tidur dan istirahat pasien mengatakan tidur sehari selama 5-6 jam sehari dan sering terbangun karena nyeri yang dirasakannya.
Data penunjang pada tanggal 20 Juni 2009 yaitu Foto Thorax : 5 kelet dan soft tissue tampak normal, Trachea/mediastinum tak tampak devlasi : Cor : Apeks ke laterokavdal, Pulmo : gerakan vaskular normal dan Hilus tak melebar, Diafragma : sinus kostorremikus. Hasil pemeriksaan laboratorium tanggal 17 Juni 2009 yaitu Hemoglobin 8,5 P12 –P16/L14-L18 g/ 100ml. Program terapi tanggal 21 Juni 2009 yaitu Ceftriaxon 1x1 1gram, Keterolak 3x1 25mlgram.
B. Analisa Data.
1. Analisa data yang pertama yaitu pasien mengatakan nyeri pada kaki sebelah kiri P :Nyeri bertambah saat digunakan untuk bergerak, Q : Nyeri dirasakan seperti ditusuk, R : Pada paha kanan, S : Skala nyeri 6, T : Hilang timbul. Dan data objektif terdapat vulnus laseratum sepanjang 15 cm dan 20 jahitan, TTV : N : 72x/menit, S : 367 o C, RR : 20x/menit, TD : 110/60mmHg. Sehingga muncul diagnosa yang pertama yaitu nyeri berhubungan dengan diskontuinitas jaringan.
2. Analisa data yang kedua yaitu data subjektif pasien mengatakan lemas dan data objektifnya 
4 4
5 2
TTV : N : 72x/menit, S : 367 o C, RR : 20x/menit, TD : 110/60mmHg. Dari data tersebut diambil diagnosa intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan fisik.
3. Analisa data yang ketiga yaitu pasien mengatakan nyeri pada kaki sebelah kirinya dan data objektif terdapat vulnus laseratum sepanjang ± 15 cm dan ± 20 jahitan, luka kering, tidak ada darah, tidak ada pus. Dari data tersebut diambil diagnosa resiko tinggi infeksi berhubungan dengan perawatan luka.
C. Rencana Intervensi, Implementasi, dan Evaluasi
Diagnosa yang muncul menurut prioritas adalah :
1. Nyeri berhubungan dengan diskontuinitas jaringan. Tujuan dan kriteria hasil setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam diharapkan nyeri berkurang dengan Kriteria hasil : nyeri berkurang, skala nyeri 4-5, pasien tampak rileks. 
Intervensi yang penulis lakukan antara lain : kaji intensitas, skala dan karakteristik nyeri, monitor TTV, ajarkan teknik distraksi dan relaksasi, kolaborasi pemberian obat analgetik dan antibiotik.
Implementasi dilakukan pada tanggal 23 Juni 2009 pukul 08.00 mengukur TTV, mengajarkan teknik distraksi dan relaksasi, mengkaji intensitas skala nyeri. Responnya pasien tampak meringis menahan nyeri.
Evaluasi dilakukan pada tanggal 23 Juni 2009 pukul 13.00 WIB dengan SOAP yaitu S : pasien mengatakan nyeri pada daerah yang luka, P : nyeri bertambah saat dilakukan untuk bergerak, Q : nyeri dirasakan seperti ditusuk-tusuk, R : pada paha kiri, S : skala nyeri 6, T : hilang timbul, O : TD : 100/60mmHg, N : 72x/menit, S : 367oC, RR : 20x/menit, terdapat VL sepanjang ± 15cm dan ± 20 jahitan, luka kering tidak ada darah dan pus, A : masalah nyeri belum teratasi, P : lanjutkan intervensi 1,2,3,4.
2. Gangguan intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan fisik.
Tujuan setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24jam diharapkan intoleransi aktivitas teratasi, ADL terpenuhi.
Intervensi yang penulis buat antara lain :catat aktivitas pasien sehari-hari, batasi aktivitas pasien yang berat, anjurkan pasien untuk melakukan pergerakan tubuh yang tepat, anjurkan ambulasi dini, anjurkan orang terdekat untuk membantu pemenuhan ADL. Implementasi yang dilakukan pada tanggal 24 Juni 2009 menganjurkan pasien untuk beraktivitas semampunya dan menganjurkan pasien untuk melakukan pergerakan yang ringan.
Evaluasi dilakukan pada tanggal 24 Juni 2009 dengan S : pasien mengatakan sudah bisa duduk walaupun masih dengan bantuan keluarga, O : pasien tampak duduk di tempat tidur, A : masalah intoleransi aktivitas teratasi sebagian, P : lanjutkan intervensi 1,2,3,4,5,6.
 
3. Resiko infeksi berhubungan dengan perawatan luka yang tidak efektif.
Tujuan setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24 jam diharapkan resiko tinggi infeksi tidak terjadi dengan kriteria hasil tidak ada tanda-tanda infeksi (kolor, rubor, disfungsi laesa). 
Intervensi yang penulis buat adalah kaji tanda-tanda infeksi, lakukan ganti balut, kolaborasi pemberian anti biotik, memonitor TTV.
Implementasi dilakukan pada tanggal 24 Juni 2009 antara lain melakukan perawatan luka ganti balut dengan teknik aseptik, mengukur TTV jam 12.30.
Evaluasi dilakukan tanggal 24 Juni 2009 dengan SOAP yaitu S : pasien mengatakan masih panas dan pasien mengatakan lemas, O : KU : lemah, TD : 120/60 mmHg, N : 80 x/menit, R : 24 x/menit, S : 37oC, A : masalah resiko tinggi infeksi teratasi, P : pertahankan intervensi 1,2,3,4.

eutanasia

Eutanasia (Bahasa Yunani: ευθανασία -ευ, eu yang artinya "baik", dan θάνατος, thanatos yang berarti kematian) adalah praktek pencabutan kehidupan manusia atau hewan melalui cara yang dianggap tidak menimbulkan rasa sakit atau menimbulkan rasa sakit yang minimal, biasanya dilakukan dengan cara memberikan suntikan yang mematikan.
Aturan hukum mengenai masalah ini sangat berbeda-beda di seluruh dunia dan seringkali berubah seiring dengan perubahan norma-norma budaya dan tersedianya perawatan atau tindakan medis. Di beberapa negara, tindakan ini dianggap legal, sedangkan di negara-negara lainnya dianggap melanggar hukum. Karena sensitifnya isu ini, pembatasan dan prosedur yang ketat selalu diterapkan tanpa memandang status hukumnya.

 Terminologi
Eutanasia ditinjau dari sudut cara pelaksanaannya.
Ditinjau dari sudut maknanya maka eutanasia dapat digolongkan menjadi tiga yaitu eutanasia pasif, eutanasia agresif dan eutanasia non agresif
Eutanasia agresif : atau suatu tindakan eutanasia aktif yaitu suatu tindakan secara sengaja yang dilakukan oleh dokter atau tenaga kesehatan lain untuk mempersingkat atau mengakhiri hidup si pasien. Misalnya dengan memberikan obat-obatan yang mematikan seperti misalnya pemberian tablet sianida atau menyuntikkan zat-zat yang mematikan ke dalam tubuh pasien.
Eutanasia non agresif : atau kadang juga disebut autoeuthanasia (eutanasia otomatis)yang termasuk kategori eutanasia negatif yaitu dimana seorang pasien menolak secara tegas dan dengan sadar untuk menerima perawatan medis dan sipasien mengetahui bahwa penolakannya tersebut akan memperpendek atau mengakhiri hidupnya. Dengan penolakan tersebut ia membuat sebuah "codicil" (pernyataan tertulis tangan). Auto-eutanasia pada dasarnya adalah suatu praktek eutanasia pasif atas permintaan.
Eutanasia pasif : juga bisa dikategorikan sebagai tindakan eutanasia negatif yang tidak menggunakan alat-alat atau langkah-langkah aktif untuk mengakhiri kehidupan si sakit. Tindakan pada eutanasia pasif ini adalah dengan secara sengaja tidak (lagi) memberikan bantuan medis yang dapat memperpanjang hidup pasien. Misalnya tidak memberikan bantuan oksigen bagi pasien yang mengalami kesulitan dalam pernapasan atau tidak memberikan antibiotika kepada penderita pneumonia berat ataupun meniadakan tindakan operasi yang seharusnya dilakukan guna memperpanjang hidup pasien, ataupun dengan cara pemberian obat penghilang rasa sakit seperti morfin walaupun disadari bahwa pemberian morfin ini juga dapat berakibat ganda yaitu mengakibatkan kematian. Eutanasia pasif ini seringkali secara terselubung dilakukan oleh kebanyakan rumah sakit.
Penyalahgunaan eutanasia pasif bisa dilakukan oleh tenaga medis, maupun pihak keluarga yang menghendaki kematian seseorang atau keputusasaan keluargan karena ketidak sanggupan menanggung beban biaya pengobatan. Ini biasanya terjadi pada keluarga pasien yang tidak mungkin untuk membayar biaya pengobatannya, dan pihak rumah sakit akan meminta untuk dibuat "pernyataan pulang paksa". Bila meninggal pun pasien diharapkan mati secara alamiah. Ini sebagai upaya defensif medis.

Eutanasia ditinjau dari sudut pemberian izin.
Ditinjau dari sudut pemberian izin maka eutanasia dapat digolongkan menjadi tiga yaitu :
Eutanasia diluar kemauan pasien: yaitu suatu tindakan eutanasia yang bertentangan dengan keinginan si pasien untuk tetap hidup. Tindakan eutanasia semacam ini dapat disamakan dengan pembunuhan.
Eutanasia secara tidak sukarela: Eutanasia semacam ini adalah yang seringkali menjadi bahan perdebatan dan dianggap sebagai suatu tindakan yang keliru oleh siapapun juga.Hal ini terjadi apabila seseorang yang tidak berkompeten atau tidak berhak untuk mengambil suatu keputusan misalnya statusnya hanyalah seorang wali dari si pasien (seperti pada kasus Terri Schiavo). Kasus ini menjadi sangat kontroversial sebab beberapa orang wali mengaku memiliki hak untuk mengambil keputusan bagi si pasien.
Eutanasia secara sukarela : dilakukan atas persetujuan si pasien sendiri, namun hal ini juga masih merupakan hal controversial.
Eutanasia ditinjau dari sudut tujuan.
Beberapa tujuan pokok dari dilakukannya eutanasia antara lain yaitu :
Pembunuhan berdasarkan belas kasihan (mercy killing)
Eutanasia hewan
Eutanasia berdasarkan bantuan dokter, ini adalah bentuk lain daripada eutanasia agresif secara sukarela
Sejarah euthanasia

Asal-usul kata euthanasia.
Kata eutanasia berasal dari bahasa Yunani yaitu "eu" (= baik) and "thanatos" (maut, kematian) yang apabila digabungkan berarti "kematian yang baik". Hippokrates pertama kali menggunakan istilah "eutanasia" ini pada "sumpah Hippokrates" yang ditulis pada masa 400-300 SM.
Sumpah tersebut berbunyi: "Saya tidak akan menyarankan dan atau memberikan obat yang mematikan kepada siapapun meskipun telah dimintakan untuk itu".
Dalam sejarah hukum Inggris yaitu common law sejak tahun 1300 hingga saat "bunuh diri" ataupun "membantu pelaksanaan bunuh diri" tidak diperbolehkan.
Eutanasia dalam dunia modern
Sejak abad ke-19, eutanasia telah memicu timbulnya perdebatan dan pergerakan di wilayah Amerika Utara dan di Eropa Pada tahun 1828 undang-undang anti eutanasia mulai diberlakukan di negara bagian New York, yang pada beberapa tahun kemudian diberlakukan pula oleh beberapa negara bagian.
Setelah masa Perang Saudara, beberapa advokat dan beberapa dokter mendukung dilakukannya eutanasia secara sukarela.
Kelompok-kelompok pendukung eutanasia mulanya terbentuk di Inggris pada tahun 1935 dan di Amerika pada tahun 1938 yang memberikan dukungannya pada pelaksanaan eutanasia agresif, walaupun demikian perjuangan untuk melegalkan eutanasia tidak berhasil digolkan di Amerika maupun Inggris. Pada tahun 1937, eutanasia atas anjuran dokter dilegalkan di Swiss sepanjang pasien yang bersangkutan tidak memperoleh keuntungan daripadanya.
Pada era yang sama, pengadilan Amerika menolak beberapa permohonan dari pasien yang sakit parah dan beberapa orang tua yang memiliki anak cacat yang mengajukan permohonan eutanasia kepada dokter sebagai bentuk "pembunuhan berdasarkan belas kasihan".
Pada tahun 1939, pasukan Nazi Jerman melakukan suatu tindakan kontroversial dalam suatu "program" eutanasia terhadap anak-anak dibawah umur 3 tahun yang menderitan keterbelakangan mental, cacat tubuh, ataupun gangguan lainnya yang menjadikan hidup mereka tak berguna. Program ini dikenal dengan nama Aksi T4 ("Action T4") yang kelak diberlakukan juga terhadap anak-anak usia diatas 3 tahun dan para jompo / lansia.
Eutanasia pada masa setelah perang dunia
Setelah dunia menyaksikan kekejaman Nazi dalam melakukan kejahatan eutanasia, pada era tahun 1940 dan 1950 maka berkuranglah dukungan terhadap eutanasia, terlebih-lebih lagi terhadap tindakan eutanasia yang dilakukan secara tidak sukarela ataupun karena disebabkan oleh cacat genetika.
Praktek-praktek eutanasia zaman dahulu kala
Praktek-praktek Eutanasia yang dilaporkan dalam berbagai tindakan masyarakat:
Di India pernah dipraktekkan suatu kebiasaan untuk melemparkan orang-orang tua ke dalam sungai Gangga.
Di Sardinia orang tua dipukul hingga mati oleh anak laki-laki tertuanya di zaman purba.
Uruguay mencantumkan kebebasan praktek eutanasia dalam undang-undang yang telah berlaku sejak tahun 1933.
Di beberapa negara Eropa, praktek eutanasia bukan lagi kejahatan kecuali di Norwegia yang sejak 1902 memperlakukannya sebagai kejahatan khusus.
Di Amerika Serikat, khususnya di semua negara bagian mencantumkan eutanasia sebagai kejahatan. Bunuh diri atau membiarkan dirinya dibunuh adalah melanggar hukum di Amerika Serikat.
Satu-satunya negara yang dapat melakukan tindakan eutanasia bagi para anggotanya adalah Belanda. Anggota yang telah diterima dengan persyaratan tertentu dapat meminta tindakan eutanasia atas dirinya. Ada beberapa warga Amerika Serikat yang menjadi anggotanya. Dalam praktek medis, biasanya tidaklah pernah dilakukan eutanasia aktif, akan tetapi mungkin ada praktek-praktek medis yang dapat digolongkan eutanasia pasif.

Eutanasia menurut hukum diberbagai negara
Sejauh ini eutanasia diperkenankan yaitu dinegara Belanda, Belgia serta ditoleransi di negara bagian Oregon di Amerika, Kolombia[4] dan Swiss dan dibeberapa negara dinyatakan sebagai kejahatan seperti di Spanyol, Jerman dan Denmark
Belanda
Pada tanggal 10 April 2001 Belanda menerbitkan undang-undang yang mengizinkan eutanasia, undang-undang ini dinyatakan efektif berlaku sejak tanggal 1 April 2002 [6], yang menjadikan Belanda menjadi negara pertama di dunia yang melegalisasi praktik eutanasia. Pasien-pasien yang mengalami sakit menahun dan tak tersembuhkan, diberi hak untuk mengakhiri penderitaannya.
Tetapi perlu ditekankan, bahwa dalam Kitab Hukum Pidana Belanda secara formal euthanasia dan bunuh diri berbantuan masih dipertahankan sebagai perbuatan kriminal.
Sebuah karangan berjudul "The Slippery Slope of Dutch Euthanasia" dalam majalah Human Life International Special Report Nomor 67, November 1998, halaman 3 melaporkan bahwa sejak tahun 1994 setiap dokter di Belanda dimungkinkan melakukan eutanasia dan tidak akan dituntut di pengadilan asalkan mengikuti beberapa prosedur yang telah ditetapkan. Prosedur tersebut adalah mengadakan konsultasi dengan rekan sejawat (tidak harus seorang spesialis) dan membuat laporan dengan menjawab sekitar 50 pertanyaan.
Sejak akhir tahun 1993, Belanda secara hukum mengatur kewajiban para dokter untuk melapor semua kasus eutanasia dan bunuh diri berbantuan. Instansi kehakiman selalu akan menilai betul tidaknya prosedurnya. Pada tahun 2002, sebuah konvensi yang berusia 20 tahun telah dikodifikasi oleh undang-undang belanda, dimana seorang dokter yang melakukan eutanasia pada suatu kasus tertentu tidak akan dihukum.


Australia
Negara bagian Australia, Northern Territory, menjadi tempat pertama di dunia dengan UU yang mengizinkan euthanasia dan bunuh diri berbantuan, meski reputasi ini tidak bertahan lama. Pada tahun 1995 Northern Territory menerima UU yang disebut "Right of the terminally ill bill" (UU tentang hak pasien terminal). Undang-undang baru ini beberapa kali dipraktikkan, tetapi bulan Maret 1997 ditiadakan oleh keputusan Senat Australia, sehingga harus ditarik kembali.
Belgia
Parlemen Belgia telah melegalisasi tindakan eutanasia pada akhir September 2002. Para pendukung eutanasia menyatakan bahwa ribuan tindakan eutanasia setiap tahunnya telah dilakukan sejak dilegalisasikannya tindakan eutanasia dinegara ini, namun mereka juga mengkritik sulitnya prosedur pelaksanaan eutanasia ini sehingga timbul suatu kesan adaya upaya untuk menciptakan "birokrasi kematian".
Belgia kini menjadi negara ketiga yang melegalisasi eutanasia ( setelah Belanda dan negara bagian Oregon di Amerika ).
Senator Philippe Mahoux, dari partai sosialis yang merupakan salah satu penyusun rancangan undang-undang tersebut menyatakan bahwa seorang pasien yang menderita secara jasmani dan psikologis adalah merupakan orang yang memiliki hak penuh untuk memutuskan kelangsungan hidupnya dan penentuan saat-saat akhir hidupnya.

Amerika
Eutanasia agresif dinyatakan ilegal dibanyak negara bagian di Amerika. Saat ini satu-satunya negara bagian di Amerika yang hukumnya secara eksplisit mengizinkan pasien terminal ( pasien yang tidak mungkin lagi disembuhkan) mengakhiri hidupnya adalah negara bagian Oregon, yang pada tahun 1997 melegalisasikan kemungkinan dilakukannya eutanasia dengan memberlakukan UU tentang kematian yang pantas (Oregon Death with Dignity Act)[8]. Tetapi undang-undang ini hanya menyangkut bunuh diri berbantuan, bukan euthanasia. Syarat-syarat yang diwajibkan cukup ketat, dimana pasien terminal berusia 18 tahun ke atas boleh minta bantuan untuk bunuh diri, jika mereka diperkirakan akan meninggal dalam enam bulan dan keinginan ini harus diajukan sampai tiga kali pasien, dimana dua kali secara lisan (dengan tenggang waktu 15 hari di antaranya) dan sekali secara tertulis (dihadiri dua saksi dimana salah satu saksi tidak boleh memiliki hubungan keluarga dengan pasien). Dokter kedua harus mengkonfirmasikan diagnosis penyakit dan prognosis serta memastikan bahwa pasien dalam mengambil keputusan itu tidak berada dalam keadaan gangguan mental.Hukum juga mengatur secara tegas bahwa keputusan pasien untuk mengakhiri hidupnya tersebut tidak boleh berpengaruh terhadap asuransi yang dimilikinya baik asuransi kesehatan, jiwa maupun kecelakaan ataupun juga simpanan hari tuanya.
Belum jelas apakah undang-undang Oregon ini bisa dipertahankan di masa depan, sebab dalam Senat AS pun ada usaha untuk meniadakan UU negara bagian ini. Mungkin saja nanti nasibnya sama dengan UU Northern Territory di Australia. Bulan Februari lalu sebuah studi terbit tentang pelaksanaan UU Oregon selama tahun 1999.[9] [10]
Sebuah lembaga jajak pendapat terkenal yaitu Poling Gallup (Gallup Poll) menunjukkan bahwa 60% orang Amerika mendukung dilakukannya euthanasia

Indonesia
Berdasarkan hukum di Indonesia maka eutanasia adalah sesuatu perbuatan yang melawan hukum, hal ini dapat dilihat pada peraturan perundang-undangan yang ada yaitu pada Pasal 344 Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang menyatakan bahwa "Barang siapa menghilangkan nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri, yang disebutkannya dengan nyata dan sungguh-sungguh, dihukum penjara selama-lamanya 12 tahun". Juga demikian halnya nampak pada pengaturan pasal-pasal 338, 340, 345, dan 359 KUHP yang juga dapat dikatakan memenuhi unsur-unsur delik dalam perbuatan eutanasia. Dengan demikian, secara formal hukum yang berlaku di negara kita memang tidak mengizinkan tindakan eutanasia oleh siapa pun.
Ketua umum pengurus besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Farid Anfasal Moeloek dalam suatu pernyataannya yang dimuat oleh majalah Tempo Selasa 5 Oktober 2004 [12] menyatakan bahwa : Eutanasia atau "pembunuhan tanpa penderitaan" hingga saat ini belum dapat diterima dalam nilai dan norma yang berkembang dalam masyarakat Indonesia. "Euthanasia hingga saat ini tidak sesuai dengan etika yang dianut oleh bangsa dan melanggar hukum positif yang masih berlaku yakni KUHP.


Swiss
Di Swiss, obat yang mematikan dapat diberikan baik kepada warga negara Swiss ataupun orang asing apabila yang bersangkutan memintanya sendiri. Secara umum, pasal 115 dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana Swiss yang ditulis pada tahun 1937 dan dipergunakan sejak tahun 1942, yang pada intinya menyatakan bahwa "membantu suatu pelaksanaan bunuh diri adalah merupakan suatu perbuatan melawan hukum apabila motivasinya semata untuk kepentingan diri sendiri."
Pasal 115 tersebut hanyalah menginterpretasikan suatu izin untuk melakukan pengelompokan terhadap obat-obatan yang dapat digunakan untuk mengakhiri kehidupan seseorang.

Inggris
Pada tanggal 5 November 2006, Kolese Kebidanan dan Kandungan Britania Raya (Britain's Royal College of Obstetricians and Gynaecologists) mengajukan sebuah proposal kepada Dewan Bioetik Nuffield (Nuffield Council on Bioethics) agar dipertimbangkannya izin untuk melakukan eutanasia terhadap bayi-bayi yang lahir cacat (disabled newborns). Proposal tersebut bukanlah ditujukan untuk melegalisasi eutanasia di Inggris melainkan semata guna memohon dipertimbangkannya secara saksama dari sisi faktor "kemungkinan hidup si bayi" sebagai suatu legitimasi praktek kedokteran.
Namun hingga saat ini eutanasia masih merupakan suatu tindakan melawan hukum di kerajaan Inggris demikian juga di Eropa (selain daripada Belanda).
Demikian pula kebijakan resmi dari Asosiasi Kedokteran Inggris (British Medical Association-BMA) yang secara tegas menentang eutanasia dalam bentuk apapun juga.

Jepang
Jepang tidak memiliki suatu aturan hukum yang mengatur tentang eutanasia demikian pula Pengadilan Tertinggi Jepang (supreme court of Japan) tidak pernah mengatur mengenai eutanasia tersebut.
Ada 2 kasus eutanasia yang pernah terjadi di Jepang yaitu di Nagoya pada tahun 1962 yang dapat dikategorikan sebagai "eutanasia pasif" (消極的安楽死, shōkyokuteki anrakushi)
Kasus yang satunya lagi terjadi setelah peristiwa insiden di Tokai university pada tahun 1995[14] yang dikategorikan sebagai "eutanasia aktif " (積極的安楽死, sekkyokuteki anrakushi)
Keputusan hakim dalam kedua kasus tersebut telah membentuk suatu kerangka hukum dan suatu alasan pembenar dimana eutanasia secara aktif dan pasif boleh dilakukan secara legal. Meskipun demikian eutanasia yang dilakukan selain pada kedua kasus tersebut adalah tetap dinyatakan melawan hukum, dimana dokter yang melakukannya akan dianggap bersalah oleh karena merampas kehidupan pasiennya. Oleh karena keputusan pengadilan ini masih diajukan banding ke tingkat federal maka keputusan tersebut belum mempunyai kekuatan hukum sebagai sebuah yurisprudensi, namun meskipun demikian saat ini Jepang memiliki suatu kerangka hukum sementara guna melaksanakan eutanasia.

Republik Ceko
Di Republik Ceko eutanisia dinyatakan sebagai suatu tindakan pembunuhan berdasarkan peraturan setelah pasal mengenai eutanasia dikeluarkan dari rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Sebelumnya pada rancangan tersebut, Perdana Menteri Jiri Pospíšil bermaksud untuk memasukkan eutanasia dalam rancangan KUHP tersebut sebagai suatu kejahatan dengan ancaman pidana selama 6 tahun penjara, namun Dewan Perwakilan Konstitusional dan komite hukum negara tersebut merekomendasikan agar pasal kontroversial tersebut dihapus dari rancangan tersebut.

India
Di India eutanasia adalah suatu perbuatan melawan hukum. Aturan mengenai larangan eutanasia terhadap dokter secara tegas dinyatakan dalam bab pertama pasal 300 dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana India (Indian penal code-IPC) tahun 1860. Namun berdasarkan aturan tersebut dokter yang melakukan euthanasia hanya dinyatakan bersalah atas kelalaian yang mengakibatkan kematian dan bukannya pembunuhan yang hukumannya didasarkan pada ketentuan pasal 304 IPC, namun ini hanyalah diberlakukan terhadap kasus eutanasia sukarela dimana sipasien sendirilah yang menginginkan kematian dimana si dokter hanyalah membantu pelaksanaan eutanasia tersebut (bantuan eutanasia). Pada kasus eutanasia secara tidak sukarela (atas keinginan orang lain) ataupun eutanasia di luar kemauan pasien akan dikenakan hukuman berdasarkan pasal 92 IPC.

China
Di China, eutanasia saat ini tidak diperkenankan secara hukum. Eutansia diketahui terjadi pertama kalinya pada tahun 1986, dimana seorang yang bernama "Wang Mingcheng" meminta seorang dokter untuk melakukan eutanasia terhadap ibunya yang sakit. Akhirnya polisi menangkapnya juga si dokter yang melaksanakan permintaannya, namun 6 tahun kemudian Pengadilan tertinggi rakyat (Supreme People's Court) menyatakan mereka tidak bersalah. Pada tahun 2003, Wang Mingcheng menderita penyakit kanker perut yang tidak ada kemungkinan untuk disembuhkan lagi dan ia meminta untuk dilakukannya eutanasia atas dirinya namun ditolak oleh rumah sakit yang merawatnya. Akhirnya ia meninggal dunia dalam kesakitan.

Afrika Selatan
Di Afrika Selatan belum ada suatu aturan hukum yang secara tegas mengatur tentang eutanasia sehingga sangat memungkinkan bagi para pelaku eutanasia untuk berkelit dari jerat hukum yang ada.

Korea
Belum ada suatu aturan hukum yang tegas yang mengatur tentang eutanasia di Korea, namun telah ada sebuah preseden hukum (yurisprudensi)yang di Korea dikenal dengan "Kasus rumah sakit Boramae" dimana dua orang dokter yang didakwa mengizinkan dihentikannya penanganan medis pada seorang pasien yang menderita sirosis hati (liver cirrhosis) atas desakan keluarganya. Polisi kemudian menyerahkan berkas perkara tersebut kepada jaksa penuntut dengan diberi catatan bahwa dokter tersebut seharusnya dinayatakan tidak bersalah. Namun kasus ini tidak menunjukkan relevansi yang nyata dengan mercy killing dalam arti kata eutanasia aktif.
Pada akhirnya pengadilan memutuskan bahwa " pada kasus tertentu dari penghentian penanganan medis (hospital treatment) termasuk tindakan eutanasia pasif, dapat diperkenankan apabila pasien terminal meminta penghentian dari perawatan medis terhadap dirinya.[19]
Eutanasia menurut ajaran agama
Dalam ajaran gereja Katolik Roma
Sejak pertengahan abad ke-20, gereja Katolik telah berjuang untuk memberikan pedoman sejelas mungkin mengenai penanganan terhadap mereka yang menderita sakit tak tersembuhkan, sehubungan dengan ajaran moral gereja mengenai eutanasia dan sistem penunjang hidup. Paus Pius XII, yang tak hanya menjadi saksi dan mengutuk program-program egenetika dan eutanasia Nazi, melainkan juga menjadi saksi atas dimulainya sistem-sistem modern penunjang hidup, adalah yang pertama menguraikan secara jelas masalah moral ini dan menetapkan pedoman. Pada tanggal 5 Mei tahun 1980 , kongregasi untuk ajaran iman telah menerbitkan Dekalarasi tentang eutanasia ("Declaratio de euthanasia") [20] yang menguraikan pedoman ini lebih lanjut, khususnya dengan semakin meningkatnya kompleksitas sistem-sistem penunjang hidup dan gencarnya promosi eutanasia sebagai sarana yang sah untuk mengakhiri hidup. Paus Yohanes Paulus II, yang prihatin dengan semakin meningkatnya praktek eutanasia, dalam ensiklik Injil Kehidupan (Evangelium Vitae) nomor 64 yang memperingatkan kita agar melawan "gejala yang paling mengkhawatirkan dari `budaya kematian' dimana jumlah orang-orang lanjut usia dan lemah yang meningkat dianggap sebagai beban yang mengganggu." Paus Yohanes Paulus II juga menegaskan bahwa eutanasia merupakan tindakan belas kasihan yang keliru, belas kasihan yang semu: "Belas kasihan yang sejati mendorong untuk ikut menanggung penderitaan sesama. Belas kasihan itu tidak membunuh orang, yang penderitaannya tidak dapat kita tanggung" (Evangelium Vitae, nomor 66)

Dalam ajaran agama Hindu
Pandangan agama Hindu terhadap euthanasia adalah didasarkan pada ajaran tentang karma, moksa dan ahimsa.
Karma adalah merupakan suatu konsekwensi murni dari semua jenis kehendak dan maksud perbuatan, yang baik maupun yang buruk, lahir atau bathin dengan pikiran kata-kata atau tindakan. Sebagai akumulasi terus menerus dari "karma" yang buruk adalah menjadi penghalang "moksa" yaitu suatu ialah kebebasan dari siklus reinkarnasi yang menjadi suatu tujuan utama dari penganut ajaran Hindu.
Ahimsa adalah merupakan prinsip "anti kekerasan" atau pantang menyakiti siapapun juga.
Bunuh diri adalah suatu perbuatan yang terlarang didalam ajaran Hindu dengan pemikiran bahwa perbuatan tersebut dapat menjadi suatu factor yang mengganggu pada saat reinkarnasi oleh karena menghasilkan "karma" buruk. Kehidupan manusia adalah merupakan suatu kesempatan yang sangat berharga untuk meraih tingkat yang lebih baik dalam kehidupan kembali.
Berdasarkan kepercayaan umat Hindu, apabila seseorang melakukan bunuh diri, maka rohnya tidak akan masuk neraka ataupun surga melainkan tetap berada didunia fana sebagai roh jahat dan berkelana tanpa tujuan hingga ia mencapai masa waktu dimana seharusnya ia menjalani kehidupan (Catatan : misalnya umurnya waktu bunuh diri 17 tahun dan seharusnya ia ditakdirkan hidup hingga 60 tahun maka 43 tahun itulah rohnya berkelana tanpa arah tujuan), setelah itu maka rohnya masuk ke neraka menerima hukuman lebih berat dan akhirnya ia akan kembali ke dunia dalam kehidupan kembali (reinkarnasi) untuk menyelesaikan "karma" nya terdahulu yang belum selesai dijalaninya kembali lagi dari awal.

Dalam ajaran agama Buddha
Ajaran agama Buddha sangat menekankan kepada makna dari kehidupan dimana penghindaran untuk melakukan pembunuhan makhluk hidup adalah merupakan salah satu moral dalam ajaran Budha. Berdasarkan pada hal tersebut diatas maka nampak jelas bahwa euthanasia adalah sesuatu perbuatan yang tidak dapat dibenarkan dalam ajaran agama Budha. Selain daripada hal tersebut, ajaran Budha sangat menekankan pada "welas asih" ("karuna")
Mempercepat kematian seseorang secara tidak alamiah adalah merupakan pelanggaran terhadap perintah utama ajaran Budha yang dengan demikian dapat menjadi "karma" negatif kepada siapapun yang terlibat dalam pengambilan keputusan guna memusnahkan kehidupan seseorang tersebut.

Dalam ajaran Islam
Seperti dalam agama-agama Ibrahim lainnya (Yahudi dan Kristen), Islam mengakui hak seseorang untuk hidup dan mati, namun hak tersebut merupakan anugerah Allah kepada manusia. Hanya Allah yang dapat menentukan kapan seseorang lahir dan kapan ia mati (QS 22: 66; 2: 243). Oleh karena itu, bunuh diri diharamkan dalam hukum Islam meskipun tidak ada teks dalam Al Quran maupun Hadis yang secara eksplisit melarang bunuh diri. Kendati demikian, ada sebuah ayat yang menyiratkan hal tersebut, "Dan belanjakanlah (hartamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik." (QS 2: 195), dan dalam ayat lain disebutkan, "Janganlah engkau membunuh dirimu sendiri," (QS 4: 29), yang makna langsungnya adalah "Janganlah kamu saling berbunuhan." Dengan demikian, seorang Muslim (dokter) yang membunuh seorang Muslim lainnya (pasien) disetarakan dengan membunuh dirinya sendiri.
Eutanasia dalam ajaran Islam disebut qatl ar-rahmah atau taisir al-maut (eutanasia), yaitu suatu tindakan memudahkan kematian seseorang dengan sengaja tanpa merasakan sakit, karena kasih sayang, dengan tujuan meringankan penderitaan si sakit, baik dengan cara positif maupun negatif.
Pada konferensi pertama tentang kedokteran Islam di Kuwait tahun 1981, dinyatakan bahwa tidak ada suatu alasan yang membenarkan dilakukannya eutanasia ataupun pembunuhan berdasarkan belas kasihan (mercy killing) dalam alasan apapun juga.

Eutanasia positif
Yang dimaksud taisir al-maut al-fa'al (eutanasia positif) ialah tindakan memudahkan kematian si sakit --karena kasih sayang-- yang dilakukan oleh dokter dengan mempergunakan instrumen (alat).
Memudahkan proses kematian secara aktif (eutanasia positif)adalah tidak diperkenankan oleh syara'. Sebab dalam tindakan ini seorang dokter melakukan suatu tindakan aktif dengan tujuan membunuh si sakit dan mempercepat kematiannya melalui pemberian obat secara overdosis dan ini termasuk pembunuhan yang haram hukumnya, bahkan termasuk dosa besar yang membinasakan.
Perbuatan demikian itu adalah termasuk dalam kategori pembunuhan meskipun yang mendorongnya itu rasa kasihan kepada si sakit dan untuk meringankan penderitaannya. Karena bagaimanapun si dokter tidaklah lebih pengasih dan penyayang daripada Yang Menciptakannya. Karena itu serahkanlah urusan tersebut kepada Allah Ta'ala, karena Dia-lah yang memberi kehidupan kepada manusia dan yang mencabutnya apabila telah tiba ajal yang telah ditetapkan-Nya.
Eutanasia negatif
Eutanasia negatif disebut dengan taisir al-maut al-munfa'il. Pada eutanasia negatif tidak dipergunakan alat-alat atau langkah-langkah aktif untuk mengakhiri kehidupan si sakit, tetapi ia hanya dibiarkan tanpa diberi pengobatan untuk memperpanjang hayatnya. Hal ini didasarkan pada keyakinan dokter bahwa pengobatan yang dilakukan itu tidak ada gunanya dan tidak memberikan harapan kepada si sakit, sesuai dengan sunnatullah (hukum Allah terhadap alam semesta) dan hukum sebab-akibat.
Diantara masalah yang sudah terkenal di kalangan ulama syara' ialah bahwa mengobati atau berobat dari penyakit tidak wajib hukumnya menurut jumhur fuqaha dan imam-imam mazhab. Bahkan menurut mereka, mengobati atau berobat ini hanya berkisar pada hukum mubah. Dalam hal ini hanya segolongan kecil yang mewajibkannya seperti yang dikatakan oleh sahabat-sahabat Imam Syafi'i dan Imam Ahmad sebagaimana dikemukakan oleh Syekhul Islam Ibnu Taimiyah, dan sebagian ulama lagi menganggapnya mustahab (sunnah).
Dalam ajaran gereja Ortodoks
Pada ajaran Gereja Ortodoks, gereja senantiasa mendampingi orang-orang beriman sejak kelahiran hingga sepanjang perjalanan hidupnya hingga kematian dan alam baka dengan doa, upacara/ritual, sakramen, khotbah, pengajaran dan kasih, iman dan pengharapan. Seluruh kehidupan hingga kematian itu sendiri adalah merupakan suatu kesatuan dengan kehidupan gerejawi. Kematian itu adalah sesuatu yang buruk sebagai suatu simbol pertentangan dengan kehidupan yang diberikan Tuhan. Gereja Ortodoks memiliki pendirian yang sangat kuat terhadap prinsip pro-kehidupan dan oleh karenanya menentang anjuran eutanasia.

Dalam ajaran agama Yahudi
Ajaran agama Yahudi melarang eutanasia dalam berbagai bentuk dan menggolongkannya kedalam "pembunuhan". Hidup seseorang bukanlah miliknya lagi melainkan milik dari Tuhan yang memberikannya kehidupan sebagai pemilik sesungguhnya dari kehidupan. Walaupun tujuannya mulia sekalipun, sebuah tindakan mercy killing ( pembunuhan berdasarkan belas kasihan), adalah merupakan suatu kejahatan berupa campur tangan terhadap kewenangan Tuhan.
Dasar dari larangan ini dapat ditemukan pada Kitab Kejadian dalam alkitab Perjanjian Lama Kej 1:9 yang berbunyi :" Tetapi mengenai darah kamu, yakni nyawa kamu, Aku akan menuntut balasnya; dari segala binatang Aku akan menuntutnya, dan dari setiap manusia Aku akan menuntut nyawa sesama manusia".[31] Pengarang buku : HaKtav v'haKaballah menjelaskan bahwa ayat ini adalah merujuk kepada larangan tindakan eutanasia.

Dalam ajaran Protestan
Gereja Protestan terdiri dari berbagai denominasi yang mana memiliki pendekatan yang berbeda-beda dalam pandangannya terhadap eutanasia dan orang yang membantu pelaksanaan eutanasia.
Beberapa pandangan dari berbagai denominasi tersebut misalnya :
Gereja Methodis (United Methodist church) dalam buku ajarannya menyatakan bahwa : " penggunaan teknologi kedokteran untuk memperpanjang kehidupan pasien terminal membutuhkan suatu keputusan yang dapat dipertanggung jawabkan tentang hingga kapankah peralatan penyokong kehidupan tersebut benar-benar dapat mendukung kesempatan hidup pasien, dan kapankah batas akhir kesempatan hidup tersebut".
Gereja Lutheran di Amerika menggolongkan nutrisi buatan dan hidrasi sebagai suatu perawatan medis yang bukan merupakan suatu perawatan fundamental. Dalam kasus dimana perawatan medis tersebut menjadi sia-sia dan memberatkan, maka secara tanggung jawab moral dapat dihentikan atau dibatalkan dan membiarkan kematian terjadi.
Seorang kristiani percaya bahwa mereka berada dalam suatu posisi yang unik untuk melepaskan pemberian kehidupan dari Tuhan karena mereka percaya bahwa kematian tubuh adalah merupakan suatu awal perjalanan menuju ke kehidupan yang lebih baik.
Lebih jauh lagi, pemimpin gereja Katolik dan Protestan mengakui bahwa apabila tindakan mengakhiri kehidupan ini dilegalisasi maka berarti suatu pemaaf untuk perbuatan dosa, juga dimasa depan merupakan suatu racun bagi dunia perawatan kesehatan, memusnahkan harapan mereka atas pengobatan.

Sejak awalnya, cara pandang yang dilakukan kaum kristiani dalam menanggapi masalah "bunuh diri" dan "pembunuhan berdasarkan belas kasihan (mercy killing) adalah dari sudut "kekudusan kehidupan" sebagai suatu pemberian Tuhan. Mengakhiri hidup dengan alasan apapun juga adalah bertentangan dengan maksud dan tujuan pemberian tersebut.
Beberapa kasus menarik
Kasus Hasan Kusuma - Indonesia
Sebuah permohonan untuk melakukan eutanasia pada tanggal 22 Oktober 2004 telah diajukan oleh seorang suami bernama Hassan Kusuma karena tidak tega menyaksikan istrinya yang bernama Agian Isna Nauli, 33 tahun, tergolek koma selama 2 bulan dan disamping itu ketidakmampuan untuk menanggung beban biaya perawatan merupakan suatu alasan pula. Permohonan untuk melakukan eutanasia ini diajukan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Kasus ini merupakan salah satu contoh bentuk eutanasia yang diluar keinginan pasien. Permohonan ini akhirnya ditolak oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, dan setelah menjalani perawatan intensif maka kondisi terakhir pasien (7 Januari 2005) telah mengalami kemajuan dalam pemulihan kesehatannya.

Kasus seorang wanita New Jersey - Amerika Serikat
Seorang perempuan berusia 21 tahun dari New Jersey, Amerika Serikat, pada tanggal 21 April 1975 dirawat di rumah sakit dengan menggunakan alat bantu pernapasan karena kehilangan kesadaran akibat pemakaian alkohol dan zat psikotropika secara berlebihan.Oleh karena tidak tega melihat penderitaan sang anak, maka orangtuanya meminta agar dokter menghentikan pemakaian alat bantu pernapasan tersebut. Kasus permohonan ini kemudian dibawa ke pengadilan, dan pada pengadilan tingkat pertama permohonan orangtua pasien ditolak, namun pada pengadilan banding permohonan dikabulkan sehingga alat bantu pun dilepaskan pada tanggal 31 Maret 1976. Pasca penghentian penggunaan alat bantu tersebut, pasien dapat bernapas spontan walaupun masih dalam keadaan koma. Dan baru sembilan tahun kemudian, tepatnya tanggal 12 Juni 1985, pasien tersebut meninggal akibat infeksi paru-paru (pneumonia).


Kasus Terri Schiavo
Terri Schiavo (usia 41 tahun) meninggal dunia di negara bagian Florida, 13 hari setelah Mahkamah Agung Amerika memberi izin mencabut pipa makanan (feeding tube) yang selama ini memungkinkan pasien dalam koma ini masih dapat hidup. Komanya mulai pada tahun 1990 saat Terri jatuh di rumahnya dan ditemukan oleh suaminya, Michael Schiavo, dalam keadaan gagal jantung. Setelah ambulans tim medis langsung dipanggil, Terri dapat diresusitasi lagi, tetapi karena cukup lama ia tidak bernapas, ia mengalami kerusakan otak yang berat, akibat kekurangan oksigen. Menurut kalangan medis, gagal jantung itu disebabkan oleh ketidakseimbangan unsur potasium dalam tubuhnya. Oleh karena itu, dokternya kemudian dituduh malapraktek dan harus membayar ganti rugi cukup besar karena dinilai lalai dalam tidak menemukan kondisi yang membahayakan ini pada pasiennya.
Setelah Terri Schiavo selama 8 tahun berada dalam keadaan koma, maka pada bulan Mei 1998 suaminya yang bernama Michael Schiavo mengajukan permohonan ke pengadilan agar pipa alat bantu makanan pada istrinya bisa dicabut agar istrinya dapat meninggal dengan tenang, namun orang tua Terri Schiavo yaitu Robert dan Mary Schindler menyatakan keberatan dan menempuh langkah hukum guna menentang niat menantu mereka tersebut. Dua kali pipa makanan Terri dilepaskan dengan izin pengadilan, tetapi sesudah beberapa hari harus dipasang kembali atas perintah hakim yang lebih tinggi. Ketika akhirnya hakim memutuskan bahwa pipa makanan boleh dilepaskan, maka para pendukung keluarga Schindler melakukan upaya-upaya guna menggerakkan Senat Amerika Serikat agar membuat undang-undang yang memerintahkan pengadilan federal untuk meninjau kembali keputusan hakim tersebut. Undang-undang ini langsung didukung oleh Dewan Perwakilan Amerika Serikat dan ditandatangani oleh Presiden George Walker Bush. Tetapi, berdasarkan hukum di Amerika kekuasaan kehakiman adalah independen, yang pada akhirnya ternyata hakim federal membenarkan keputusan hakim terdahulu.

Kasus "Doctor Death"
Dr. Jack Kevorkian yang dijuluki "Doctor Death", seperti dilaporkan Lori A. Roscoe [35]. Pada awal April 1998, di Pusat Medis Adven Glendale[36] ,di California diduga puluhan pasien telah "ditolong" oleh Kevorkian untuk menjemput ajalnya di RS tersebut. Kevorkian berargumen apa yang dilakukannya semata demi "menolong" mereka. Tapi para penentangnya menyebut, apa yang dilakukannya adalah pembunuhan.

Kasus rumah sakit Boramae - Korea
Pada tahun 2002, ada seorang pasien wanita berusia 68 tahun yang terdiagnosa menderita penyakit sirosis hati (liver cirrhosis). Tiga bulan setelah dirawat, seorang dokter bermarga Park umur 30 tahun, telah mencabut alat bantu pernapasan (respirator) atas permintaan anak perempuan si pasien. Pada Desember 2002, anak lelaki almarhum tersebut meminta polisi untuk memeriksa kakak perempuannya beserta dua orang dokter atas tuduhan melakukan pembunuhan. Seorang dokter yang bernama dr. Park mengatakan bahwa si pasien sebelumnya telah meminta untuk tidak dipasangi alat bantu pernapasan tersebut. 1 minggu sebelum meninggalnya, si pasien amat menderita oleh penyakit sirosis hati yang telah mencapai stadium akhir, dan dokter mengatakan bahwa walaupun respirator tidak dicabutpun, kemungkinan hanya dapat bertahan hidup selama 24 jam saja.
 
Daftar pustaka
Agamben, Giorgio; diterjemahkan oleh Daniel Heller-Roazen (1998). Homo sacer: sovereign power and bare life. Stanford, Calif: Stanford University Press. ISBN 0-8047-3218-3.
Almagor, Raphael (2001). The right to die with dignity: an argument in ethics, medicine, and law. New Brunswick, N.J: Rutgers University Press. ISBN 0-8135-2986-7.
Appel, Jacob. 2007. A Suicide Right for the Mentally Ill? A Swiss Case Opens a New Debate. Hastings Center Report, Vol. 37, No. 3.
Battin, Margaret P., Rhodes, Rosamond, and Silvers, Anita, eds. Physician assisted suicide: expanding the debate. NY: Routledge, 1998.
Dworkin, R. M. Life's Dominion: An Argument About Abortion, Euthanasia, and Individual Freedom. New York: Knopf, 1993.
Emanuel, Ezekiel J. 2004. "The history of euthanasia debates in the United States and Britain" in Death and dying: a reader, edited by T. A. Shannon. Lanham, MD: Rowman & Littlefield Publishers.